Aku pernah berpikir bahwa shalat Dhuha itu hanya untuk mereka yang punya banyak waktu luang—orang yang bekerja dari rumah, ibu rumah tangga, atau mungkin mereka yang sedang menganggur. Sebagai orang yang terbiasa dengan rutinitas padat sejak pagi, aku merasa Dhuha adalah ibadah opsional yang tidak realistis untuk dijalani setiap hari.
Ternyata, aku salah besar.
Beberapa minggu yang lalu, aku mencoba untuk konsisten menjalankan shalat Dhuha. Awalnya karena rasa penasaran, lalu berlanjut karena rasa butuh. Hingga akhirnya aku benar-benar menyadari: shalat Dhuha bukan tentang waktu luang, tapi tentang spiritualitas yang dijadikan prioritas.
Mengganti Sedekah dengan Shalat
Satu hadis yang membuka mataku:
“Setiap pagi, setiap persendian dari kalian memiliki kewajiban sedekah…”
“…dan semuanya itu dapat digantikan dengan dua rakaat shalat Dhuha.”
(HR. Muslim)
Tubuh kita ini—dengan segala kelengkapan fungsi dan geraknya—punya 360 sendi. Bayangkan, setiap pagi kita berhutang sedekah atas semua itu. Tapi dengan hanya dua rakaat Dhuha, kita bisa menunaikan syukur dan “membayar” sedekah itu sekaligus.
Bukan hanya soal fiqih. Hadis ini membuatku merasa bahwa shalat Dhuha adalah bentuk pengakuan atas nikmat yang sering luput disyukuri. Ia adalah tanda sadar, bahwa sebelum mengejar target dunia, ada bagian dari diri kita yang perlu diisi lebih dulu: ruh.
Efek yang Tidak Kusangka-Sangka
Yang membuatku terus kembali ke sajadah Dhuha adalah efek setelahnya. Tidak muluk-muluk, tapi terasa nyata:
-
Hati lebih tenang. Rasanya seperti memulai hari dengan pelukan hangat dari langit. Ada jeda, ada damai.
-
Pikiran lebih jernih. Ketika pekerjaan mulai menumpuk, aku merasa bisa memilah dengan lebih fokus. Seperti ada cahaya di antara kebisingan.
-
Rezeki terasa lebih mudah. Entah kenapa, ada saja kemudahan yang datang. Bukan selalu uang, tapi seringkali berupa waktu yang cukup, bantuan yang tiba-tiba, atau solusi yang tak disangka.
-
Dan yang paling penting: perasaan dekat dengan Allah. Di antara segala kesibukan, ada rasa “sudah bicara pada-Nya” lebih dulu.
Dari Kewajiban Batin ke Rutinitas yang Dirindukan
Perlahan, shalat Dhuha jadi semacam alarm batin. Saat belum dilakukan, rasanya ada yang kurang. Bukan karena takut kehilangan pahala, tapi karena rindu pada ketenangan yang ia beri.
Kini aku sadar, kesibukan tak pernah selesai. Tapi kita bisa memilih apa yang kita beri tempat pertama dalam hidup kita. Jika yang kita prioritaskan adalah kedekatan dengan Allah, maka energi untuk menyelesaikan urusan dunia datang dari arah yang tak terduga.
Dua Rakaat, Tapi Dalamnya Tak Terukur
Bukan soal durasi. Dua rakaat shalat Dhuha mungkin hanya butuh lima menit. Tapi dampaknya bisa mengisi seharian. Bahkan lebih jauh, bisa menata ulang cara pandang kita terhadap hidup, rezeki, dan waktu.
Dan jika kamu membaca ini dalam keadaan sibuk, cemas, atau merasa hidup begitu padat—mungkin ini adalah isyarat lembut dari Allah untuk melambat sejenak. Untuk kembali ke dua rakaat itu.
Bukan karena kamu punya waktu, tapi karena kamu tahu apa yang paling pantas diberi waktu.
Penutup
Shalat Dhuha mengajarkanku satu hal: spiritualitas bukan bagian dari waktu luang, tapi fondasi dari semua waktu yang kita punya.
Dan mungkin, kedamaian yang kita cari sejak pagi, sesungguhnya sedang menunggu di dua rakaat itu.