Dari Titik Nol, Menuju Titik Balik Kehidupan: Kisah Perjalanan Hidup H Ahmad Kholil (part 4)

Dari Titik Nol, Menuju Titik Balik Kehidupan

“Bekerja itu, kata guru kami dulu, harus sesuai dengan keahlian.” Kalimat sederhana itu tak hanya menjadi nasihat, tapi telah terbukti menjadi jalan hidup bagi H. Ahmad Kholil. Lelaki yang pernah merasakan getirnya jatuh bangun usaha, bangkrut secara ekonomi, dan harus mulai dari titik nol, kini dikenal sebagai tokoh yang sukses mengelola biro perjalanan haji dan umrah di Kalimantan Barat.

Punya travel haji dan umrah di awal 2000-an adalah kebanggaan tersendiri. Bukan hanya karena nilai ekonominya, tetapi juga karena spiritualitas yang menyertainya. “Kami bangga bisa membawa jemaah beribadah. Terutama para jemaah yang sudah tua, itu prioritas utama,” kenang H. Kholil.

Muzdalifah Travel milik H. Ahmad Kholil
Jamaah umroh Muzdalifah Travel ketika di tanah suci

Travel Muzdalifah, begitu nama usahanya, memiliki moto “Melayani dengan Sepenuh Hati.” Moto itu bukan sekadar semboyan, tetapi nilai yang ditanamkan dalam setiap kegiatan travel. Setiap 45 orang jemaah wajib didampingi seorang Tour Leader (TL), yang bukan hanya paham seluk-beluk perjalanan, tetapi juga menguasai bahasa Arab dan memahami karakter jemaah.

Kebanyakan TL yang direkrut Muzdalifah merupakan lulusan luar negeri, dari Yaman, Arab Saudi, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Bukan tidak percaya dengan lulusan dalam negeri, namun kebutuhan akan keahlian dan kesiapan menghadapi kompleksitas ibadah haji membuat Muzdalifah sangat selektif. Semua TL bersertifikasi resmi, mengikuti pelatihan intensif hingga 110 jam.

 

Ekspansi dan Tantangan Cabang

Seiring popularitas, cabang-cabang Muzdalifah pun dibuka dari Jawa Timur, Sulawesi, Jakarta, hingga Bandung. Jawa Timur menjadi pasar terbesar, mengingat besarnya populasi Muslim di sana. Tapi cabang yang semula menjadi harapan, lambat laun menjadi tantangan besar.

“Cabang-cabang itu mulai merusak travel pusat,” ungkapnya. Ada yang salah mengelola dana, ada pula yang tidak menyampaikan informasi dengan baik ke jemaah. Salah satu contohnya terjadi di Jambi, ketika dana untuk 45 orang jemaah hanya ditransfer untuk 40 orang. Kekurangan lima jemaah itu harus ditutup pusat, karena secara moral tidak mungkin dibatalkan sepihak.

Lama kelamaan, beban menumpuk. Biaya operasional membengkak. Permasalahan muncul bukan hanya dari internal, tapi juga dari eksternal. Mafia tiket, pemalsuan booking, hingga drama penerbangan yang dibatalkan sepihak. “Tiket sudah dibayar, ada kode booking, tapi ternyata pesawatnya nggak ada,” kisahnya. Peristiwa seperti ini terjadi lebih dari sekali.

Untung, Muzdalifah punya dana cadangan. Seperti standby loan di bank, dana itu menyelamatkan banyak keberangkatan. Tapi tetap saja, rasa lelah dan jenuh mulai menghampiri. Tahun 2024 menjadi titik puncak kejenuhan. “Kami tinggalkan dulu. Setahun penuh. Bahkan bimbingan haji pun kami hentikan,” ujarnya.

Muzdalifah Travel milik H. Ahmad Kholil memberangkatkan jamaah haji dan umrah
H. Ahmad Kholil ketika di tanah suci

Pindah Haluan: Dagang Mobil

Tahun itu, H. Kholil mencoba peruntungan baru, berdagang mobil, khususnya mobil bekas dari Kalimantan yang dikirim ke Jawa. Pickup, minibus, hingga sedan. Semua digeluti bersama keluarga sendiri. Tapi justru di situlah celaka bermula.

“Kalau bukan ahlinya, jangan dipaksakan,” ujarnya getir. Kepercayaan yang diberikan justru disalahgunakan. Mobil-mobil dijual, uangnya tak kembali. Satu demi satu kerugian menumpuk hingga habis total. Tahun 2004 menjadi tahun paling gelap. Semua aset habis. Hanya kesehatan yang tersisa.

Namun dari kehancuran itu, ia merenung. “Saya masih sehat. Itu kunci,” ucapnya. Ia pun bertemu seorang kiai di Jawa Timur. Tanpa banyak basa-basi, sang kiai berkata, “Namamu Khulilur Rahman. Itu artinya kekasih Allah. Kerjaanmu harus menyampaikan hajat orang. Kalau begitu, Allah akan menyampaikan hajatmu lewat orang lain.”

Pesan sederhana itu menyentak batinnya. Ia teringat pelajaran lama, barang siapa menolong hajat orang lain, maka Allah akan menolong hajatnya. Maka ia pun kembali ke dunia yang ia kuasai, membimbing jemaah.

 

Bangkit dari Nol

Memulai dari nol bukan hal mudah. Tapi reputasi baiknya membuat jalannya lebih ringan. “Kami tidak pernah menipu. Tidak pernah akalin orang. Itu modal utama,” tegasnya.

Tahun 2005, Muzdalifah bangkit kembali. Jemaah pertama yang ikut pun bukan orang sembarangan. Ada Profesor Tamrin Usman, Profesor Kamarullah, Dokter Martono, Dokter Syafie, hingga Dokter Suratman. Bahkan Direktur Bank Kalbar waktu itu, Pak Jamaludin Malik, ikut pula. Ada juga tokoh-tokoh dari Bank Indonesia.

H. Kholil, yang hanya tamatan SMP saat itu, sempat minder. “Yang kami bimbing para profesor. Sementara saya SMP,” kenangnya. Tapi ia sadar, pengalaman lapangan adalah kelebihan yang tidak dimiliki para akademisi itu.

Para tokoh yang dibimbingnya justru memberi dorongan positif. “Sekolah lagi, Ji,” kata mereka. Maka ia pun mengejar ijazah SMA, lalu melanjutkan ke jenjang S1. Kuliah malam, empat tahun, dibagi antara tugas kantor dan belajar. Ia lulus. Dan tak lama, lanjut ke S2.

“Prof Tamrin bilang, S2 cuma Sabtu dan Minggu. Bisa lah!” katanya. Ia pun membangun sistem kerja kantor yang efisien, sehingga pekerjaan tetap jalan walau ia kuliah. Hasilnya? Jumlah jemaah makin banyak. Baik umrah maupun haji. Bahkan yang usia muda pun ikut.

 

Profesionalisme dan Kaderisasi

Travel Muzdalifah berkembang. Tapi H. Kholil tidak ingin sekadar besar, ia ingin usahanya profesional. Ia mulai merekrut pegawai muda dan menyekolahkan mereka. “Supaya profesional. Tidak asal kerja,” katanya.

Ia tahu, bisnis ini bukan cuma soal untung rugi. Tapi juga amanah. Maka integritas menjadi nilai utama. Pegawai diajarkan untuk tidak berbohong, tidak manipulatif, dan menjunjung tinggi pelayanan. Karena yang dilayani bukan sekadar pelanggan, tapi tamu-tamu Allah.

Muzdalifah Travel milik H. Ahmad Kholil yang memberangkatkan jamaah haji dan umrah
H. Achmad Khalil di tanah suci

Kini, Muzdalifah tidak hanya sekadar travel, tapi menjadi tempat pengabdian. H. Ahmad Kholil, dari anak kampung lulusan SMP, telah menjelma jadi tokoh pembimbing ibadah yang dihormati.

Kisah hidup H. Ahmad Kholil memberi pelajaran bahwa keberhasilan bukan soal ijazah tinggi semata. Tapi soal keahlian, niat baik, dan keteguhan hati. Ia pernah jatuh, bangkrut, dan hampir menyerah. Tapi ia bangkit karena tahu jalan hidupnya: menyampaikan hajat orang lain.

“Sekarang saya paham. Kerjaan itu harus sesuai keahlian. Kalau tidak, siap bangkrut, siap menderita,” katanya sembari tersenyum.

Ia telah membuktikannya. Dan kini, giliran kita semua untuk belajar: dari bangkrut menuju berkah, dari gagal menjadi teladan. (tamat)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Top