Kisah Kekacauan Logistik & Peta yang Salah
Ini artikel kedua terkait dengan Perang Salib. Bagi yang baru ketemu artikel ini, ada baiknya membaca Perang Salib Pertama agar ceritanya nyambung.
Musim kedua dari sejarah berdarah-darah ini dimulai bukan dengan suara sangkakala surgawi, tapi dengan jeritan kecewa Eropa setelah Edessa, negara Salib mungil penuh nostalgia, direnggut dari pelukan Kristen oleh Imad ad-Din Zengi, penguasa Muslim dari Dinasti Zengid. Tahun 1144, dunia Kristen seperti kehilangan sandal surganya. Seperti biasa, ketika Eropa kehilangan sesuatu di Timur Tengah, solusi terbaik menurut mereka adalah… perang global baru.
Ketika Edessa jatuh, Paus Eugenius III langsung membuka folder Plan B. Ia menerbitkan bula kepausan (Quantum Praedecessores, 1145), yang isinya kira-kira berbunyi:
“Halo umat Katolik. Kita pernah menang, kan? Yuk, kita coba lagi!”
Tapi, karena zaman itu belum ada medsos, maka gereja menyewa influencer spiritual paling viral abad ke-12: Bernard dari Clairvaux. Bayangkan seorang ulama yang bisa bikin satu kerajaan menangis hanya dengan satu khotbah. Bernard tidak hanya menyentuh hati jemaat, tapi juga ego raja. Dua penguasa terbesar Eropa, Louis VII dari Prancis dan Conrad III dari Jerman, terharu oleh promosinya dan langsung daftar paket tur jihad ke Yerusalem.
Namun, seperti kebanyakan promosi yang terlalu bagus untuk jadi kenyataan, tidak ada yang bilang bahwa jalan menuju Yerusalem akan seperti neraka tanpa GPS.
Dalam Perang Salib Kedua ini pemeran utamanya, Louis VII, Raja Prancis, suami dari Eleanor dari Aquitaine, dan pria yang percaya Tuhan akan menuntun pasukannya… bahkan ketika ia lupa bawa peta. Lalu, ada Conrad III, Raja Kekaisaran Romawi Suci, veteran perang, percaya diri, dan keras kepala. Ia berpikir bisa menaklukkan Asia Kecil hanya dengan senyum dan armor.
Dari pihak Muslim, ada Nuruddin Zengi, Putra Imad ad-Din Zengi, ahli strategi yang waras dan paham bahwa musuh Eropa sebenarnya adalah logistik mereka sendiri. Kemudian, ada Baldwin III, Raja Yerusalem, remaja cerdas yang menyaksikan dua raja tua bertengkar sambil meminum anggur lokal.
Jalannya Perang
Tahun 1147, dua pasukan besar, yang satu dari Prancis, yang satu dari Jerman, berangkat ke Tanah Suci secara terpisah. Karena tentu saja, kenapa berkoordinasi kalau bisa saling ngambek?
Pasukan Conrad, mereka melewati Anatolia seperti sekawanan pelancong nekat. Seljuk Rum, suku Turki yang tidak punya waktu untuk basa-basi, menyergap mereka dengan penuh gaya. Dalam Pertempuran Dorylaeum, pasukan Jerman dihabisi seperti ayam kampung masuk kandang harimau. Dari puluhan ribu tentara, hanya sebagian kecil yang lolos. Conrad sendiri luka parah, fisik maupun harga dirinya.
Lal, Pasukan Louis, Prancis datang belakangan, membawa harapan besar, dan Eleanor dari Aquitaine yang konon berperang pakai baju ksatria. Tapi jalanan berbatu, panas gurun, dan musuh yang tak terlihat membuat pasukan Louis lebih banyak berjalan dari bertempur. Mereka seperti kafilah ziarah yang lupa membawa pemandu.
Setelah tersesat, disergap, dan dehidrasi, mereka akhirnya bersatu di Yerusalem. Tapi tentu saja, dua raja yang kelelahan tidak serta-merta jadi cerdas.
Saat tiba di Yerusalem, para pemimpin Kristen berdiskusi soal langkah selanjutnya. Tapi alih-alih menyusun strategi cerdas untuk merebut kembali Edessa, mereka memutuskan untuk menyerang Damaskus. Kenapa? Karena Damaskus kaya. Karena Damaskus dekat. Karena… kenapa tidak? Masalahnya? Damaskus selama ini netral, kadang malah bersekutu dengan Yerusalem melawan musuh bersama.
Tapi logika bukan bagian dari strategi Salib. Maka 50.000 pasukan menyerbu Damaskus, hanya untuk disambut dengan panah, jebakan, dan tembok kokoh. Setelah empat hari pengepungan gagal total, logistik habis, dan moral runtuh, mereka kabur.
Konferensi pengecut pun terjadi. Semua saling menyalahkan. Pasukan Jerman menyalahkan tanah. Pasukan Prancis menyalahkan peta. Kedua negara yang begitu bernafsu menaklukkan Damaskus, akhirnya pulang dengan kegetiran. Kalah.
Nuruddin Zengi Makin Kuat
Alih-alih gentar, Muslim Syam melihat betapa kacau strategi Kristen. Nuruddin dengan santai menyatukan wilayah Suriah, menyiapkan masa depan untuk salah satu pahlawan Islam terbesar, Salahuddin Al-Ayyubi.
Louis pulang tanpa kemenangan, tanpa istri (Eleanor menceraikannya, menikah dengan Henry II dari Inggris), dan tanpa kehormatan. Conrad III pulang membawa luka dan trauma. Paus Eugenius III? Ia wafat dua tahun kemudian. Bernard dari Clairvaux? Ia dicaci para bangsawan karena ternyata retorika tidak bisa menggantikan rencana logistik.
Ironisnya, dari reruntuhan kekalahan ini, para cendekiawan Eropa mulai membawa pulang karya-karya Arab seperti Avicenna, Al-Khawarizmi, Al-Farabi. Kedokteran, matematika, dan filsafat Islam menjadi bagian dari kurikulum biara, sebab kalau tidak bisa menang perang, setidaknya bisa menang debat.
Perang Salib Kedua adalah bukti bahwa “perang suci” bukan berarti suci dari kebodohan. Tidak semua seruan dari mimbar layak jadi strategi militer. Tuhan tidak bisa dimanipulasi dengan slogan, dan tidak akan menurunkan kemenangan kepada pasukan yang tidak tahu perbedaan antara musuh dan tetangga.
Perang Salib Kedua bukan hanya kegagalan militer, tapi juga koreksi keras dari sejarah terhadap arogansi manusia. Dari reruntuhan strategi buruk lahirlah pemimpin cerdas, cendekiawan tercerahkan, dan tafsir baru tentang makna “suci”.
Perang ini bukan tentang kalah atau menang. Ia tentang kebodohan kolektif yang diabadikan, dan kesempatan bagi umat manusia untuk belajar dari kesalahan… walau tak pernah benar-benar belajar. Jika sejarah memang berulang, maka jelas, perang Salib Kedua adalah bukti bahwa Tuhan tidak pernah memihak peta yang salah.*