Sejarah Kelam Perang Salib Pertama: Fanatisme, Darah, dan Ambisi Suci
Sejarah, kata para filsuf tua, adalah guru kehidupan. Tapi kalau guru kita ngajarnya kayak kisah Perang Salib Pertama, maka bisa dipastikan muridnya akan tumbuh jadi fanatik, haus darah, dan percaya bahwa surga bisa dibeli dengan pedang. Selamat datang di episode perdana dari sejarah paling absurd sepanjang sejarah manusia, Perang Salib Pertama. Bayangkan drama kolosal zaman kegelapan, dibumbui hasrat surgawi, ambisi duniawi, dan dibungkus jubah suci, inilah cinta buta terhadap Tanah Suci yang dibayar dengan darah.
Latar Belakang
Tahun 1095, Paus Urbanus II berdiri di mimbar Konsili Clermont dan membuka mulutnya bukan untuk berkhotbah damai, melainkan meluncurkan status broadcast zaman kegelapan, “Siapa yang ikut perang, dosanya dihapus!” Tidak perlu tes darah, tidak perlu vaksin, langsung bisa naik ke surga first class, tanpa antre.
Bayangkan, satu pidato dari seorang pria berjubah putih mengubah ribuan petani, tukang roti, pengangguran, hingga bangsawan menjadi pasukan suci yang siap membunuh atas nama kasih sayang Tuhan. Karena apa? Karena katanya Yerusalem lagi dikontrol orang yang “salah” alias umat Islam.
Jangan lupa, Kekaisaran Bizantium di Timur (Kristen Ortodoks) juga sedang megap-megap diserang Dinasti Seljuk, Muslim Turki yang lebih jago manuver ketimbang strategi klub-klub Liga Champions. Maka, dengan semangat “musuhnya musuhku adalah temanku”, Paus dan Kaisar Alexios I Komnenos bergandengan tangan, dalam hubungan yang rapuh seperti hubungan selebgram dan endorsement.
Jalannya Perang
Pada tahun 1096, dimulai oleh Peter the Hermit, seorang biarawan yang entah dapat wahyu dari Tuhan atau halusinasi dari perut kosong, memimpin rombongan petani dan rakyat jelata menuju Yerusalem. Tapi mereka lupa satu hal, ini bukan wisata religi. Tanpa strategi, logistik, atau Google Maps, mereka jadi korban serangan di sepanjang jalan dan lebih banyak meninggal karena kelaparan daripada pertempuran.
Setahun kemudian (1097), para ksatria Eropa yang beneran berpengalaman ikut turun gelanggang. Mereka singgah di Konstantinopel seperti fans bola yang mampir ke stadion megah. Dari sana, mereka merebut Nicea dari Seljuk dan menang di Dorylaeum, sebuah kemenangan yang mereka anggap sebagai tanda bahwa surga makin dekat, padahal sebenarnya mereka baru nyentuh gerbangnya.
Berikutnya pada tahun 1098 aksi Pengepungan Antiokhia. Seperti sinetron yang makin kompleks, pengepungan Antiokhia adalah babak berdarah yang penuh plot twist. Pasukan Salib sukses merebut kota ini, hanya untuk dikepung balik oleh pasukan Muslim. Tapi seperti cerita laga Bollywood, seorang biarawan tiba-tiba menemukan “Holy Lance” tombak suci yang katanya menusuk tubuh Yesus. Semua pasukan langsung semangat, dan mereka berhasil menang. Kemenangan karena logistik? Bukan. Karena tombak mistis. Absurd? Tentu.
Tahun terus berjalan, tepat tahun 1099, Yerusalem Berdarah. Akhirnya, pasukan Salib sampai di Yerusalem. Mereka tak datang membawa damai, melainkan membawa senjata tajam dan dendam spiritual. Pada 15 Juli 1099, kota itu direbut dan berubah jadi lautan darah. Muslim, Yahudi, bahkan beberapa Kristen Timur dibantai tanpa pandang bulu. Karena katanya, kalau tak bisa membedakan yang kafir dan bukan, bunuh semua saja, biar Tuhan yang memilih di akhirat. Ini bukan satire. Ini kutipan asli dari para kronikus Salib.
Hasil & Dampak: Surga Di Ujung Pedang
Setelah pembantaian yang bahkan membuat malaikat pengawas sejarah menangis di pojokan, para tentara Salib membentuk Kerajaan Yerusalem Latin dan franchise-nya: County of Edessa, Principality of Antioch, dan County of Tripoli. Mereka seperti startup religius dengan modal kekerasan dan branding “Tuhan bersama kita”.
Tapi mereka lupa satu hal, sejarah adalah boomerang. Ketegangan antara Islam dan Kristen meningkat. Tanah Suci yang dulunya tempat ziarah, berubah jadi zona perang berkepanjangan. Perang Salib Pertama menjadi preseden bagi perang-perang berikutnya. Dunia Islam mulai merapatkan barisan. Para pemimpin seperti Imad ad-Din Zengi dan Salahuddin al-Ayyubi muncul sebagai respon dari kezaliman Eropa berseragam salib.
Perang Salib Pertama adalah cermin rusak dari keinginan manusia untuk membungkus ambisi politik, kerakusan tanah, dan nafsu berkuasa dalam nama suci. Ini adalah opera berdarah di mana Tuhan dijadikan alibi paling sakral. Filsuf-filsuf sejarah seperti Voltaire hingga Toynbee akan menggelengkan kepala sambil berkata, “Inilah contoh ketika manusia mengira mereka pembawa terang, tapi justru menjadi penebar kegelapan.”
Paus Urbanus mungkin merasa bangga melihat ribuan orang mengangkat pedang demi surga, tapi ia lupa bahwa surga tidak pernah bisa ditaklukkan dengan darah sesama manusia. Sejarah mencatat, bukan sebagai kisah kemenangan iman, tapi sebagai tragedi kolektif umat manusia yang mencari Tuhan di ujung tombak.
Perang Salib Pertama mungkin dimulai dengan khotbah dan kidung suci, tapi berakhir dengan jerit tangis dan lautan darah. Ia adalah contoh absurd dari bagaimana manusia bisa begitu percaya bahwa mereka sedang melakukan kehendak Tuhan, padahal hanya sedang memenuhi syahwat sejarah mereka sendiri.
Di episode selanjutnya, bagaimana perang Salib berlanjut seperti sinetron tanpa akhir, dan bagaimana dunia Islam mulai bangkit dari keterpurukan untuk memberi pelajaran pada mereka yang menyalakan api atas nama surga. (Bersambung)