Ketika Ruben Onsu Bertemu Hidayah
Ketika malaikat langit sedang sibuk mencatat pahala orang-orang yang sahur kesiangan dan masih sempat update status “#LaparTapiIkhlas”, tiba-tiba terdengar getaran dahsyat dari jagat maya, Ruben Onsu masuk Islam. Ya, Anda tidak salah dengar. Ruben Onsu, bapak dari sambal Onsu, mantan suami Sarwendah yang tak pernah lelah mendukung ekonomi rumah tangga lewat usaha frozen food, tiba-tiba melempar granat spiritual yang bikin netizen meringis kagum, bahkan sampai membuat grup WhatsApp emak-emak pengajian heboh seperti sedang rebutan takjil.
Kejadian sakral ini tidak diumumkan lewat konferensi pers, bukan pula via TikTok berjoget sambil memakai peci, melainkan melalui kanal YouTube milik siapa lagi kalau bukan Raja Dangdut Rhoma Irama. Seolah Tuhan sedang ingin memberikan efek sinematik maksimal, momen suci ini difasilitasi oleh pria yang pernah berkata, “Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya.” Kali ini, begadangnya Ruben berbuah hidayah. Saat tampil menjadi bintang tamu, dengan nada suara yang tidak dibuat-buat dan mata berkaca-kaca seperti pemain FTV yang habis ditinggal pacar, Ruben mengungkapkan alasannya, bukan karena wanita, bukan pula karena endorsement jilbab, tapi karena kenyamanan dalam ibadah, khususnya salat.
“Dari ibadahnya, hubungan vertikal yang memang benar-benar ada banyak hal yang bisa kita pelajari,” ujarnya, kalem tapi menghantam dada. Hubungan vertikal. Kata-kata ini langsung membuat langit merinding. Sebab bukan hanya mengandung makna spiritual tinggi, tapi juga berhasil membuat mahasiswa filsafat bingung, karena ternyata relasi eksistensial manusia dengan Tuhan bisa diringkas dengan kata sesederhana “vertikal.” Tidak heran jika malaikat pencatat amal langsung menekan tombol “subscribe” pada channel spiritualitas Ruben.
Dalam pernyataannya yang penuh ketulusan, Ruben mengaku bahwa salat memberinya ketenangan dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Di tengah hiruk-pikuk dunia hiburan yang penuh lampu sorot, sorak penonton, dan iklan minyak rambut, ternyata Ruben malah menemukan makna sejati dalam diamnya rakaat demi rakaat. Sementara sebagian umat Islam yang dari kecil sudah belajar Iqro jilid 1 sampai 6, kini lebih akrab dengan Iqro versi digital: “Instagram Qur’anic Quotes Only.” Salat pun sering dijadikan ritual kejar tayang, wudhu kilat, sujud cepat, zikir skip. Tapi Ruben? Dia memilih mendalami setiap gerakan dengan kesungguhan layaknya aktor senior membaca skrip adegan terakhir sebelum mati syahid di sinetron.
Tentu, karena bangsa ini sangat terampil membumbui segala sesuatu dengan gosip, muncul kabar bahwa keislaman Ruben hanya akal-akalan demi cinta. Disebut-sebut, keputusan itu dihubung-hubungkan dengan aktris sekaligus politisi, Desy Ratnasari. Padahal Desy sendiri sedang sibuk mengurus dapil dan tidak punya waktu main sinetron religi bareng Ruben. Namun Ruben menjawab tudingan ini dengan mantap, “Enggak ada, itu mah kabar burung.” Kabar burung, saudara-saudara. Dan tampaknya burung itu bukan burung merpati pembawa damai, tapi burung jalak gosip yang biasa nongkrong di acara infotainment sore hari.
Ruben menegaskan bahwa keputusannya adalah murni pilihan spiritual, bukan karena Desy, bukan karena kontrak film religi, dan bukan juga karena tekanan dari netizen. Ia bahkan mengungkapkan bahwa dirinya sengaja menunda pengumuman karena ingin fokus ibadah dulu. Coba bandingkan dengan sebagian manusia yang kalau mualaf, langsung bikin konten reaction, bikin podcast tentang hijrah, bahkan merilis album nasyid edisi Ramadan. Ruben justru memilih diam. Diam yang bermakna. Diam yang berisi. Diam yang bikin kita merenung, “Kapan terakhir kali kita salat dengan khusyuk?”
Menariknya, pengumuman itu disampaikan tepat saat Idul Fitri. Momen yang bukan hanya sakral, tapi juga sangat strategis secara spiritual dan algoritma. Saat umat Islam baru saja menyelesaikan puasa, makan ketupat, dan bertengkar kecil karena THR, Ruben memilih mengumumkan kabar besar. “Assalamualaikum. Mungkin ini saatnya saya bisa sampaikan. Maafkan jika baru bisa saya sampaikan. Saya ingin fokus ibadah,” tulisnya. Kalimat yang sederhana, tapi mampu membuat langit tertawa haru. Seakan Ruben berkata kepada dunia, “Saya tidak sedang ingin jadi konten. Saya sedang ingin jadi hamba.”
Di Instagram, sang sahabat Raffi Ahmad pun langsung memberi dukungan. Sebuah foto mereka berdua dengan caption penuh doa. “Alhamdulillah @ruben\_onsu. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah…” Doa itu lebih manis dari promo skincare artis. Di tengah dunia selebritas yang sering kali hanya memikirkan followers, Raffi memberikan keteladanan, mendukung sahabat bukan dengan gimmick, tapi dengan munajat. Tak lama kemudian, netizen mulai membanjiri kolom komentar dengan ucapan selamat, emoji menangis haru, hingga janji pengajian virtual.
Tentu, dari kacamata Islam, kisah ini bukan sekadar fenomena viral. Ia adalah pelajaran iman. Dalam sejarah umat, para mualaf selalu membawa sinyal penting dari langit. Seperti Bilal bin Rabah yang disiksa di gurun tapi tetap bertahan demi kalimat tauhid. Atau Salman Al-Farisi yang mengarungi benua demi mencari kebenaran. Kini, Ruben Onsu, meski tidak menunggangi unta atau ditawan bangsa Romawi, menempuh jalan sunyi dalam dunia yang bising, demi menemukan Tuhan.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadis shahih, “Sesungguhnya Islam menghapus dosa-dosa yang telah lalu.” Dari sinilah kita sadar, bahwa Ruben tidak hanya menghapus history browser dosa, tapi juga meng-install ulang sistem hidupnya dengan operating system bernama Islam. Bukan trial version. Bukan bajakan. Tapi original dari langit.
Yang menarik adalah, betapa kisah ini mencambuk batin kita yang lahir Islam tapi tidak pernah sungguh-sungguh menjalaninya. Kita yang lebih hafal lirik lagu TikTok daripada surat Al-Mulk. Kita yang lebih rajin update story daripada update wudhu. Kita yang bangga disebut Muslim, tapi tidak pernah sempat membaca arti dari syahadat. Sementara Ruben, seorang mualaf, justru menampilkan keseriusan, ketundukan, dan keikhlasan yang luar biasa.
Fenomena ini membuat kita sadar bahwa Islam bukan hak istimewa berdasarkan KTP. Ia adalah anugerah yang harus diperjuangkan. Kita sering merasa entitled hanya karena lahir dari keluarga Muslim. Padahal iman itu bukan warisan. Ia harus diperjuangkan, ditanam, disiram, dan dijaga, seperti Ruben menjaga niat hijrahnya dari terpaan dunia hiburan.
Seandainya kisah ini difilmkan, niscaya judulnya akan menjadi “Hijrah Sang Sultan Sambal” dengan tagline: “Ketika cahaya lebih terang dari lampu studio.” Sutradaranya tentu bukan sembarang orang. Mungkin langsung ditangani oleh para malaikat pencatat amal dengan sinematografi ilahiyah yang tidak bisa dikalahkan efek CGI. Film itu tak akan butuh efek slow motion, karena setiap gerakan salat sudah cukup dramatis untuk membuat hati manusia gemetar.
Akhir kata, kisah Ruben Onsu adalah tamparan halus namun tajam, bukan hanya bagi para artis yang masih galau spiritual, tapi juga bagi kita semua yang mungkin belum sadar bahwa agama bukan sebatas simbol. Ia adalah komitmen. Ia adalah perjalanan. Ia adalah rumah. Dan Ruben, dengan keputusannya yang mengejutkan sekaligus menggetarkan, telah mengajarkan kita semua, bahwa hidayah itu seperti sinyal: kadang tidak stabil, tapi jika kau sabar, akhirnya terhubung juga.
Selamat datang, Ruben. Dunia ini hanya panggung sandiwara, tapi Islam adalah panggung keabadian. Dan engkau, dengan segala kekurangan dan keikhlasanmu, sudah menuliskan bab baru dalam skrip hidup yang ditulis langsung oleh Sang Maha Sutradara.
Semoga istiqamah, Ruben bin Onsu. Jangan khawatir. Kalau engkau tersesat, kami siap jadi Google Maps spiritualmu. Karena dalam Islam, kita bukan saling menghakimi. Kita saling mengingatkan jalan pulang.