Fenomena Pertanyaan “Kapan Menikah?” Masalah Sosial dan Sikap Al-Qur’an terhadap Status Lajang, Duda atau Janda

Fenomena Pertanyaan “Kapan Menikah?” Masalah Sosial dan Sikap Al-Qur’an terhadap Status Lajang, Duda atau Janda

 

Pertanyaan “kapan menikah?” adalah pertanyaan yang kerap kali terdengar ringan namun memiliki dampak psikologis yang dalam bagi sebagian orang. Tak jarang, pertanyaan ini menjadi beban bagi mereka yang belum menikah karena berbagai alasan: belum menemukan pasangan yang cocok, fokus membangun karier, tanggung jawab keluarga, atau alasan pribadi lainnya.

Dalam budaya kita, status pernikahan seringkali dijadikan tolok ukur kesuksesan atau kedewasaan seseorang. Mereka yang masih lajang di usia tertentu dianggap ‘tertinggal’, sementara duda atau janda kadang mendapat stigma sosial, seolah mereka tidak lengkap tanpa pasangan. Padahal, kehidupan seseorang tidak bisa diukur hanya dari status pernikahannya.

Perspektif Al-Qur’an: Manusia Bernilai Bukan Karena Status

Al-Qur’an, sebagai pedoman hidup umat Islam, memberikan pendekatan yang jauh lebih bijak dan manusiawi dalam menyikapi status pernikahan. Dalam Islam, pernikahan memang dianjurkan sebagai bagian dari fitrah manusia dan sarana menjaga kehormatan, sebagaimana firman Allah:

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 32)

Ayat ini menunjukkan bahwa menikah adalah anjuran, bukan kewajiban mutlak yang harus dipenuhi dalam batas waktu tertentu. Menikah dipandang sebagai solusi sosial dan spiritual, bukan beban atau perlombaan.

Tentang Duda, Janda, dan Lajang

Al-Qur’an tidak pernah merendahkan status duda, janda, atau lajang. Justru, ada beberapa ayat yang menunjukkan betapa Allah tetap memuliakan mereka yang pernah mengalami perpisahan (baik karena kematian maupun perceraian), dan tetap membuka jalan bagi mereka untuk menikah kembali jika berkeinginan.

Contohnya dalam konteks janda:

“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menangguhkan dirinya (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa iddahnya, maka tidak ada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234)

Ayat ini menggambarkan bahwa wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya berhak menentukan masa depan hidupnya sendiri, termasuk menikah lagi. Tidak ada stigma, tidak ada larangan, justru ada perlindungan dan pengaturan demi kebaikan mereka.

Demikian pula dengan pria yang menjadi duda, Islam tidak pernah membatasi mereka untuk membangun kembali rumah tangga. Nabi Muhammad SAW sendiri menikah dengan beberapa wanita yang berstatus janda, dan memperlakukan mereka dengan kasih sayang serta hormat.

Menikah: Pilihan, Bukan Paksaan Sosial

Dengan demikian, Al-Qur’an mengajarkan bahwa status seseorang bukanlah ukuran kemuliaan. Yang lebih utama adalah takwa, akhlak, dan amal saleh. Masyarakat seyogianya belajar dari nilai-nilai Qur’ani untuk tidak memaksakan pertanyaan “kapan menikah?” seolah semua orang wajib menikah pada usia tertentu.

Alih-alih menekan, alangkah baiknya jika kita menciptakan ruang empati: mendukung mereka yang ingin menikah, menghormati mereka yang memilih sendiri, dan tidak menghakimi siapa pun berdasarkan statusnya. Dalam pandangan Islam, semua manusia punya nilai yang sama di sisi Allah—baik mereka menikah, janda, duda, atau lajang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Top