Belajar Menulis di Usia Senja: Revolusi Dakwah dari Pelosok Kalimantan Barat
Senin, 5 Mei 2025, aula Kementerian Agama Kabupaten Bengkayang kembali menjadi saksi dari sebuah momen yang tidak hanya menginspirasi, tapi juga menggetarkan hati. Di tengah hujan pagi yang mengguyur lembut perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, 85 penyuluh agama Islam dari pelosok pedalaman dan pulau-pulau terpencil berkumpul, membawa satu tekad, belajar.
Bukan belajar soal ceramah, bukan pula soal hafalan ayat, melainkan belajar menulis. Ya, menulis. Membingkai kata menjadi dakwah, mengabadikan pengalaman menjadi ilmu, mengubah keresahan menjadi seruan kebaikan.
Yang membuat hati ini benar-benar digugah adalah satu hal: sebagian besar dari mereka bukan anak muda. Usia mereka rata-rata di atas 40 tahun, bahkan beberapa sudah di usia senja. Ada yang sudah bercucu, ada yang matanya mulai rabun, ada yang jarinya gemetar saat memegang ponsel, tapi semua itu kalah oleh semangat yang membara dalam jiwa.
Dakwah Itu Menyala, Meski di Pelosok Dunia
Bengkayang bukan kota besar. Ini wilayah perbatasan. Di sinilah Indonesia bersitatap langsung dengan Malaysia. Namun, jangan pernah ragukan cahaya iman yang menyala dari tempat-tempat yang jauh dari sorotan dunia. Dakwah Islam justru tumbuh subur di pelosok, di heningnya malam di pedalaman, di tengah debur ombak pesisir, bahkan di bawah lampu petromaks yang menggantikan cahaya PLN.

Saya menyaksikan sendiri, para penyuluh agama ini datang dari dusun yang tak ada sinyal, dari desa yang harus menyeberang sungai untuk menjangkau kota. Tapi mereka hadir, lengkap dengan catatan, dengan wajah penuh harap, dengan semangat yang tak bisa dibeli oleh apapun. Mereka ingin bisa menulis. Ingin bisa berdakwah lewat tulisan. Ingin agar Islam tidak hanya hidup di mimbar, tapi juga bernapas di media sosial.
Bukankah ini perintah Allah?
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Menulis adalah bagian dari hikmah. Literasi adalah bagian dari pelajaran yang baik. Ketika para penyuluh tua itu memaksa dirinya belajar mengetik dengan dua jari, itu bukan sekadar belajar keterampilan, itu adalah jihad.
Mereka yang Tertinggal Tapi Tak Mau Tertinggal
Dari tahun ke tahun, saya menyaksikan wajah-wajah yang sama, dan juga wajah-wajah baru. Ini adalah keempat kalinya saya diundang oleh Kemenag Kabupaten Bengkayang sebagai tutor pelatihan literasi. Empat kali pula saya menyaksikan mukjizat kecil bernama “semangat belajar”.
Saya pernah berpikir, mengajari literasi digital kepada para senior bukan perkara mudah. Tapi saya salah besar. Mereka jauh lebih tekun dari mahasiswa. Mereka mencatat dengan teliti, bertanya tanpa malu, dan ketika berhasil menulis satu paragraf saja, wajah mereka berseri seperti anak kecil yang baru bisa membaca huruf hijaiyah.
Saya ajarkan mereka menulis artikel, memilih judul yang menarik, membuat paragraf yang hidup, lalu mengunggahnya ke website resmi Kemenag. Saya perkenalkan mereka dengan aplikasi Meta untuk membuat ilustrasi, RemakeFace untuk membuat avatar, bahkan hingga cara mengedit video sederhana dan mengunggah ke TikTok. Dan mereka? Menyambutnya seperti menemukan oase di tengah padang pasir.
Bayangkan, penyuluh agama Islam yang tinggal di pegunungan, yang biasa naik motor trail menembus lumpur dan jembatan gantung, kini mengedit video dakwah sendiri dengan lagu latar, lalu menyebarkannya lewat media sosial. Ini bukan sekadar pelatihan, ini adalah revolusi dakwah dari perbatasan.
Pak Damsir: Kepala Kemenag yang Visioner
Di balik semua ini ada sosok yang pantas mendapatkan apresiasi: Bapak Damsir, Kepala Kemenag Bengkayang. Beliaulah yang terus mendorong semangat literasi, menyemangati seluruh jajaran mulai dari kepala seksi, kepala KUA, hingga para penyuluh untuk menulis. Hasilnya tidak main-main. Selama tiga tahun terakhir, Kemenag Bengkayang menduduki posisi pertama dalam penulisan berita di website Kemenag Kalbar.
Pak Damsir paham, di era digital ini, dakwah tak bisa hanya bersandar pada mimbar dan masjid. Dakwah harus masuk ke dunia maya, ke layar-layar kecil di genggaman tangan, ke algoritma, ke feed dan foryoupage.
Beliau tak lelah mengingatkan: setiap kegiatan harus ditulis. Setiap pengalaman harus dibagikan. Dan para penyuluh menjawab tantangan itu dengan karya nyata. Website Kemenag Kalbar kini ramai dengan artikel dari pelosok: cerita tentang Islam yang menyapa petani, nelayan, ibu rumah tangga, dan anak-anak di perbatasan.
Dakwah Tak Harus Muda, Tapi Harus Bergerak
Saya merasa sangat kecil di hadapan para penyuluh ini. Mereka bukan akademisi, bukan penulis profesional, tapi mereka memiliki niat yang lebih besar dari ijazah: menyampaikan kebaikan.
Islam adalah agama ilmu. Nabi Muhammad bersabda, “Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Bukankah mereka yang berusia senja tapi tetap belajar adalah bukti dari hadits ini? Mereka tidak ingin terkenal. Mereka tidak cari follower. Mereka hanya ingin agar Islam hadir di layar anak muda. Mereka ingin agar setiap unggahan di TikTok bukan hanya tarian dan lelucon, tapi juga ada nasihat, ada kebaikan, ada Islam.
Tahun depan, saya bahkan diminta untuk mengajarkan mereka membuat animasi dakwah. Dan saya tidak ragu sedikit pun. Saya tahu, semangat mereka tidak pernah padam. Mungkin jari mereka lambat, mungkin mereka sering lupa password, tapi mereka tidak pernah lupa tujuan mereka: menyebarkan Islam dengan cara terbaik.
Kita Harus Belajar dari Mereka
Di kota, kita sering terlalu sibuk scroll media sosial tapi tak punya waktu untuk menyebar ayat. Kita sibuk urusan karier dan popularitas, sampai lupa bahwa dakwah bukan hanya urusan ustaz—dakwah adalah tugas semua muslim. Para penyuluh di Bengkayang ini mengingatkan kita bahwa dakwah bisa dimulai dari satu artikel, satu gambar, satu video sederhana.
Mereka mungkin tidak viral. Tapi mereka ikhlas. Dan bukankah dalam Islam, yang paling bernilai bukan hasilnya, tapi niatnya?
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka hari itu, di aula sederhana di Bengkayang, saya menyaksikan para dai digital dilahirkan. Tidak dengan gemerlap, tidak dengan kamera profesional, tapi dengan hati yang penuh cinta pada Islam dan tekad untuk tidak tertinggal oleh zaman.
Jika engkau hari ini masih muda dan tinggal di kota, dengan akses internet tak terbatas, dengan teknologi di ujung jari, dengan fasilitas yang serba lengkap, lalu engkau belum juga menulis, belum juga berdakwah, belum juga berbagi kebaikan, maka tengoklah mereka yang dari pelosok.
Mereka yang berjalan kaki menyeberangi sungai untuk ikut pelatihan. Mereka yang belajar mengetik meski harus menyipitkan mata. Mereka yang tak peduli tua, asal dakwah tetap menyala.
Karena di hadapan Allah, bukan usia yang dihitung, tapi amal. Semoga kita semua tergolong sebagai pewaris para nabi, “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
Hari itu, di Bengkayang, saya menyaksikan warisan itu diteruskan, oleh mereka yang tak mau menyerah, tak mau diam, tak mau mati sebelum Islam benar-benar hadir di setiap sudut ruang digital.
Allahu Akbar. Islam terus hidup. Bahkan dari perbatasan. Bahkan dari tangan-tangan renta yang masih ingin belajar.