Dari Santri Kampung Menjadi Pengusaha Travel Besar: Kisah Perjalanan Hidup H. Ahmad Kholil (part 1)

Dari Lumpur Karet ke Tanah Suci

Di balik cahaya kemegahan Muzdalifah Travel, travel umrah terbesar di Kalimantan Barat, tersimpan kisah perjuangan yang tak banyak diketahui orang. Sosok di baliknya adalah H. Ahmad Kholil. Ia seorang anak kampung yang dulu hanya bermodal mimpi, doa, dan semangat baja. Kini, ia tak hanya dikenal sebagai pengusaha sukses, tapi juga menjabat sebagai Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Kalimantan Barat. Tapi siapa sangka, jalan yang ditempuhnya penuh onak dan air mata.

Ahmad Kholil lahir di Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, pada tahun 1969. Ia adalah anak dari pasangan H. Jauhari Musthofa (alm) dan Hj. Farida binti Pilut (almh). Keluarga petani sederhana yang menggantungkan hidup dari noreh karet. Pekerjaan yang tak menjanjikan banyak, selain lelah yang tak kunjung habis. Tiga bersaudara, ia hidup dalam keterbatasan, tapi tidak pernah kehilangan rasa ingin tahu.

Pendidikan formalnya hanya bertahan sampai kelas dua SD. Ayahnya kemudian  memutuskan mengirimnya ke Pondok Pesantren Al Jihad di Sungai Jawi. Di sanalah awal perjalanannya sebagai seorang anak santri. Tujuh tahun lamanya ia ditempa, pulang hanya sekali dalam setahun. Lalu berpindah-pindah pondok Darul Ulum Rasau Kubu Raya. Tak lama di situ, lalu ayahnya mengirimkan Kholil kecil ke Lanbulan Sampang Madura, Jawa Timur. Merasa kurang betah, ia kembali lagi ke Darul Ulum. Pada akhirnya, ia kembali lagi ke Lanbulan Madura. Bolak-balik karena ia terbilang nakal.

H. Ahmad Kholil di tanah suci

Ia bukan anak yang mudah diatur. Saat di Darul Ulum, ia bersama-sama suka mengambil buah-buahan di hutan. Suatu hari, saat mengambil buah rambutan, ia jatuh. Tulang belakangnya patah, dan dilarikan ke RS Soedarso Pontianak. Merasa kurang maksimalnya, ibunya membawa ke pengobatan alternatif spesialis patah tulang. Sebulan di sana, ia dinyatakan sembuh. Satu lagi kenakalan Kholil kecil, ia suka mencuri telur bebek milik kiyainya. Telur itu digoreng dan dimakan bersama kawan-kawannya. Cerita ini ia selalu ingat, sampai suatu hari minta maaf kepada kiyainya. Permintaan maaf itu ia sampaikan saat berada di Makkah, pas kiyainya naik haji.

Ijazah pun tak diambil karena kenakalan masa mudanya. Namun siapa yang menyangka, dari keras kepalanya itulah lahir keteguhan hati yang mengubah hidupnya kelak.

Perjalanan Rohani yang Membentuk Jiwa

Dia pernah mengalami kejadian aneh ketika melakukan perjalanan bersama seniornya sesama santri. Ketika melakukan perjalanan ke Lanbulan, malam-malam gelap ia lewati bersama para senior, menyusuri jalan setapak, berjalan kaki tanpa uang dan bekal. Mereka menuju suatu tempat yaitu Batu Ampar di Sampang, berbatasan dengan Pamekasan.

Perjalanan spiritual yang mereka jalani ini cukup menegangkan, berangkat pagi, tiba pukul 4 subuh, melewati hutan, hanya berteman cahaya bulan dan lampu pelita. Dalam perjalanan itu, ia khatam Al-Qur’an dalam waktu tiga hari, melakukan muhasabah, mencari jati diri, dan mulai merancang sebuah mimpi.

Keanehan yang terjadi ialah ketika mengkhatamkan Al-Qur’an yang ketiga kalinya diantara bacaan Surah Al-Falaq menuju ke Surah An-naas, antara sadar dan setengah sadar seperti mimpi tapi bukan mimpi dia melihat sebuah menara Masjid yang sangat indah dengan sangat jelas, tapi ia tidak tahu itu masjid apa. Dan ternyata apa yang dia lihat pada malam itu adalah menara Masjid Nabawi di Madinah, yang baru ia ketahui setelah lima tahun berikutnya. Mimpi atau penglihatan itu seakan menjadi bisikan langit, sebuah janji yang menunggu ditepati.

H. Ahmad Kholil di tanah suci

“Air Deras dari Arah Kiblat”

Sepulang dari Lanbulan, ia kembali ke rumah kakeknya di Bangkalan. Malam itu, ia tertidur dan bermimpi air deras, putih, jernih mengalir dari arah kiblat. Ia terbangun dengan hati berdebar, tak tahu apa arti mimpi itu, hingga pagi datang dan tamu misterius muncul di depan rumah.

Tamu itu mengatakan telah lama mencarinya. Ia membawa kabar bahwa ada visa pelajar ke Arab Saudi, yang awalnya ditujukan untuk orang lain, tapi karena satu dan lain hal, justru dialah yang ditunjuk sebagai pengganti. Ia pun menyanggupi. Bibinya berusaha menghubungi orang tua Kholil di Kalimantan Barat, membicarakan masalah biaya keberangkatan ke Arab Saudi. Ia pun dapat kiriman uang dan siap berangkat. Cuma, sebelum ke Saudi, ia harus ditampung dulu di Jakarta.

H. Ahmad Kholil di tanah suci

Tapi perjalanan ke Tanah Suci tak semudah mimpi. Ia baru berusia 13 tahun. Untuk bisa lolos ke luar negeri, ia harus dimanipulasi, dibawa ke Purwakarta, dibuatkan KTP dengan umur yang dituakan, difoto dengan kumis tipis agar tampak lebih dewasa.

Jakarta, Lunta Lunta dan Tertunda

Ketika semua dokumen sudah siap, takdir kembali menguji. Perang Iran-Irak meletus, dan semua keberangkatan dihentikan. Ia bersama tujuh orang lainnya telantar di Jakarta selama tiga bulan. Mereka mulai berulah, membuat repot para penampung. Hingga akhirnya, karena “ulah” itu pula, mereka didesak untuk segera diberangkatkan.

Dari delapan orang, hanya dia yang membawa visa pelajar. Yang lain visa bebas. Ia masih belia, belum mengerti apa yang menantinya di Tanah Suci. Tapi ia tahu, hatinya telah dipanggil, dan langkahnya sudah tak bisa ditarik kembali.

Bersambung…

Kisah berikutnya, perjuangan Ahmad Kholil di Arab Saudi. Bagaimana ia bertahan hidup, belajar, dan bekerja, ikuti selalu kisahnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Top