Oleh Rosadi Jamani
Di antara gemerlap lampu malam takbiran dan denting hati yang rindu pada ampunan, terselip satu kabar yang menggetarkan kalbu banyak insan. Ruben Onsu, sosok publik yang selama ini dikenal lewat layar kaca, dengan lembut namun pasti, membuka lembaran baru hidupnya. Ia mengikrarkan dua kalimat syahadat, sebuah keputusan suci yang dirahasiakan hingga pagi kemenangan tiba, Hari Raya Idul Fitri 2025.
Tak ada gemuruh sorak. Tak ada tangis haru yang diumbar. Hanya ketenangan, ketundukan, dan janji dalam sunyi, “Saya tidak ingin menangis. Saya hanya ingin fokus untuk menjalankan yang ada.”
Kalimat itu bukan sekadar pengendalian emosi. Ia adalah cermin dari keteguhan hati seseorang yang telah disentuh cahaya Ilahi. Di balik ketenangan Ruben, ada badai perenungan yang telah ia lalui. Sebuah pencarian yang mungkin tidak pernah ia ceritakan penuh ke publik, tapi dibisikkan lembut dalam sujud dan renungan malam.
Mimpi dan Izin dari Langit
Yang paling menyentuh adalah ketika Ruben menyebutkan bahwa ia ingin meminta izin dari kedua orangtuanya yang kini telah tiada. Tak banyak yang menyadari bahwa proses menuju hidayah seringkali melibatkan alam yang tak kasat mata. Dalam keheningan mimpi, Ruben dipertemukan kembali dengan orang tuanya. Mungkin, itulah bentuk restu dari langit yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata, tapi sangat dirasakan oleh hati yang terbuka.
“Saya memimpikan itu ya mungkin biar bagaimanapun orang tua kita walaupun nggak ada beliau pasti hadir,” katanya penuh makna.
Mantan suami Sarwendah ini pun pergi ke makam orang tuanya. Tak membawa bunga, tapi membawa berita paling agung dalam hidupnya, bahwa ia kini seorang muslim. Bahwa dirinya, kini telah menjadi bagian dari ummat yang bersujud kepada Yang Maha Esa.
Ketundukan yang Membuka Jalan
Hidayah adalah hak prerogatif Allah. Ia tidak datang pada siapa yang merasa paling tahu, tetapi pada siapa yang paling membuka hati. Dalam kerendahan hati Ruben, dalam diamnya ia menjalani proses mualaf, tampak sebuah pelajaran besar, bahwa menjadi muslim bukanlah sekadar berpindah agama, tapi berpindah dari gelap ke terang, dari ego ke ketundukan.
Nama-nama yang disebut Ruben dalam perjalanannya, Habib Usman bin Yahya, Lesti Kejora, hingga sahabat karib Ivan Gunawan, menjadi saksi betapa Allah menurunkan pertolongan lewat manusia. Takdir pun memeluk Ruben dengan lembut, di waktu paling istimewa, Idulfitri. Hari di mana hati kembali ke fitrah, dan dosa-dosa luruh bersama takbir yang menggema.
Ini bukan akhir kisah. Justru ini adalah permulaan. Permulaan seorang hamba yang ingin mendekat, belajar, dan mencinta Tuhannya dengan cara yang baru, melalui Islam. Bukan sebagai label, tetapi sebagai jalan hidup.
Kita yang membaca kisah ini, barangkali harus bertanya ke dalam diri sendiri. “Sudahkah aku menemukan hidayah dalam hidupku? Atau justru aku telah memilikinya, namun mengabaikannya?”
Karena hidayah bukan hanya untuk yang baru masuk Islam. Ia adalah cahaya yang harus terus dijaga, diperjuangkan, dan dirindukan.
Dalam kebeningan pagi Idulfitri, Ruben Onsu tidak menangis. Tapi berjuta hati yang mendengar kisahnya mungkin tak kuasa menahan haru. Karena kisah ini adalah tentang cinta sejati, antara hamba dan Penciptanya. Tentang keberanian untuk mengikuti suara hati. Tentang keikhlasan untuk mengakui bahwa hidup ini adalah milik-Nya, dan kepada-Nya kita kembali.
Selamat datang, Ruben Onsu. Dalam pelukan Islam yang damai. Semoga Allah menjaga hatimu, memperkuat langkahmu, dan menjadikan kisahmu sebagai sumber inspirasi bagi siapa pun yang sedang mencari jalan pulang.