Eropa. Benua tua yang dahulu menjadi panggung megah bagi drama ilahi. Kini berubah menjadi komedi tragis spiritual yang layak disutradarai oleh Monty Python. Gereja-gereja yang dulunya agung, penuh cahayanya Tuhan dan aroma dupa, kini jadi bar rooftop, hotel butik, dan lapangan skateboard.
Mari mulai dengan negeri bratwurst dan Beethoven, Jerman. Tempat di mana Yesus dulu dielu-elukan lewat lagu-lagu Bach, kini harus bersaing dengan pajak gereja sebesar 8–9% dari penghasilan tahunan.
Tahun 2022, 522.821 umat Katolik memutuskan pensiun dari kehidupan keagamaan formal. Angka ini naik drastis dari 359.338 pada 2021. Gereja-gereja di Jerman kini tidak lagi berdengung dengan nyanyian pujian, melainkan suara printer mengeluarkan surat pernyataan keluar keanggotaan.
Sekadar perbandingan, jumlah jemaat yang cabut tahun 2022 hampir setara dengan seluruh penduduk Luxembourg yang memutuskan “Maaf, Tuhan, kami unfollow dulu, ya.”
Belgia, negeri yang dulunya tempat para biarawan menulis kitab dan menyalin doa, kini justru menulis menu minuman. Di Flanders, 350 gereja telah bertransformasi menjadi tempat-tempat yang lebih… “sosial”:
– Bar spesialis bir buatan biarawan (ironi tertinggi dalam sejarah fermentasi)
– Pusat kebudayaan tempat puisi eksistensial dibacakan dengan latar musik techno
– Perpustakaan tempat buku-buku Nietzsche bersebelahan dengan Injil, oh, harmoni sakral-sekuler!
Tuhan mungkin masih ada di sini, tapi kini Ia duduk di sudut ruangan, menyeruput IPA lokal sambil berpikir, “Dulu umat-Ku rajin puasa. Sekarang mereka pesan tapas.”
Kita beralih ke ke Arnhem, Belanda. Di sini berdirilah sebuah gereja tua bernama St. Joseph. Dulu, altar gereja ini tempat para imam memimpin misa. Kini? Tempat remaja berjerawat melakukan Ollie dan 360 kickflip di atas mimbar suci.
Sejak 2015, gereja ini secara resmi menjadi lapangan skateboard. Di negeri Belanda yang terkenal dengan liberalisme dan sepeda, gereja menjadi tempat di mana anak muda berkata, “Bro, gue habis jatuh di altar. Sakit banget.”
Yesus disalib demi penebusan dosa, kini St. Joseph diluncurkan ulang sebagai tempat menebus waktu luang.
Giliran Inggris, negara di mana Shakespeare pernah berkata, “There is a divinity that shapes our ends,” kini harus menerima kenyataan bahwa divinitas itu pensiun dini.
Sensus 2021 menunjukkan bahwa jumlah umat Kristen di Inggris dan Wales turun menjadi kurang dari 50% populasi untuk pertama kalinya dalam sejarah. Yesus tak lagi trending di Inggris. Ia dikalahkan oleh Love Island dan Premier League.
Beberapa gereja bahkan bermetamorfosis menjadi masjid. Contohnya:
Gereja Hyatt United dibeli oleh komunitas Mesir dan kini menjadi masjid.
St. Peter di Stoke-on-Trent, sepi sejak 2013, kini menjadi Masjid Madinah.
Gereja Methodis Brick Lane, dibangun pada 1743, jadi masjid sejak 1978.
Bukit Sion di Clitheroe, berganti fungsi jadi masjid pada 2006.
Apa ini artinya? Mungkin Tuhan tidak meninggalkan Inggris. Ia hanya ganti rumah, ganti nama, dan ganti arah kiblat.
Lalu, apa penyebab runtuhnya menara iman ini?
Sekularisasi. Kini, orang Eropa lebih percaya pada Netflix daripada Neraka. Daripada tanya pastor, mereka tanya ChatGPT.
Skandal Gereja. Jika gereja adalah kapal, maka kasus pelecehan seksual adalah lubang di bawah lambung yang terlalu banyak, terlalu dalam, dan terlalu lama ditutupi karpet doa.
Pajak Gereja. Di Jerman, bayangkan kamu harus membayar 9% dari penghasilanmu hanya agar institusi yang memintanya bisa mengubah ruang doa menjadi gudang.
Perubahan Demografi. Datangnya imigran dengan tradisi dan iman yang berbeda mengubah peta spiritual Eropa. Gereja yang kosong menemukan nyawa baru sebagai masjid, perpustakaan, atau ironisnya studio yoga.
Jangan sedih. Jangan pula marah. Gereja mungkin kehilangan jemaat, tapi tidak kehilangan daya sewa. Bangunan megah itu kini tempat pernikahan gay, konferensi startup, dan pertunjukan teater absurd.
Di saat lonceng gereja berdentang semakin jarang, atau bahkan diganti dengan sirine ambulans sekulerisme, ada sebuah suara baru yang perlahan mengisi kekosongan, Allahu Akbar. Fenomena Islam di Eropa saat ini seperti cameo tak terduga dalam film drama lama yang kehabisan pemeran utama. Gereja kosong? Tak masalah. Komunitas Muslim siap menyewa, merenovasi, bahkan menghidupkan kembali bangunan-bangunan suci yang pensiun dini.
Di Inggris, beberapa gereja telah berubah menjadi masjid, bukan karena perebutan kekuasaan spiritual, tapi karena satu pihak memilih hengkang, dan pihak lain sedang cari tempat parkir untuk sajadah.
Mereka datang dengan paspor imigrasi, membawa harapan, sejarah, dan terkadang… resep sambal. Tapi jangan salah, umat Muslim di Eropa kini bukan sekadar “penghuni pinggiran” mereka tengah menulis bab-bab baru dalam sejarah benua ini.
Pertumbuhan Populasi Muslim:
Tahun 2010: 19 juta (3.8% dari populasi Eropa). Lalu, tahun 2020: 25 juta (4.9%), dan tahun 2030 (proyeksi): 35 juta (7.4%). Bayangkan, sementara gereja-gereja diubah jadi tempat ngopi, masjid-masjid justru tumbuh diam-diam seperti pohon zaitun yang sabar, tidak mencolok, tapi menancap kuat.
Negara-negara seperti Prancis, Jerman, dan Inggris kini memiliki populasi Muslim yang bukan hanya besar secara angka, tapi juga signifikan secara sosial. Sementara altar dibersihkan untuk jadi panggung konser jazz, anak-anak Muslim justru ramai ke TPA tiap sore.
Namun, seperti kisah klasik mana pun, tak ada kemajuan tanpa antagonis. Dalam opera ini, sang antagonis bernama, Islamofobia. Alih-alih menyambut pewaris spiritual baru dengan tangan terbuka, sebagian masyarakat memilih menyambut dengan larangan jilbab, tuduhan radikalisme, dan deteksi niat jahat berdasarkan bentuk janggut.
Pelecehan verbal? Tentu. Larangan simbol agama di ruang publik? Sudah jadi camilan politik. Serangan fisik terhadap masjid dan jamaah? Sesekali muncul, ibarat klimaks tragis di tengah simfoni integrasi.
Ironisnya, sementara institusi-institusi lama kehilangan kepercayaan akibat skandal internal, umat Muslim justru dicurigai sebelum berbuat apa-apa. “Yang menghancurkan gereja kalian bukan Muslim, tapi kesombongan kalian sendiri. Kok marahnya ke mereka?”
Tapi komunitas Muslim bukan hanya bertahan. Mereka tumbuh. Berkarya. Ini yang paling membuat sekuleris senior terkejut, ikut membangun masyarakat. Mereka masuk ke politik: dari dewan kota hingga parlemen. Seni: film, puisi, musik, bukan hanya soal syariat, tapi juga syair.
Bisnis: restoran halal jadi warisan budaya, startup fintech berbasis syariah mulai mencuat.
Dialog antaragama: karena ya, mereka juga capek dituduh, jadi mereka bicara, menjelaskan, membuka pintu. Muslim Eropa bukan lagi tamu. Mereka kini tetangga, mitra dagang, penyair, dan calon wali kota.
Akhirnya, sekularisme tua bertemu Islam muda. Bayangkan ini, sebuah katedral tua di Prancis yang lengang, di seberangnya sebuah komunitas Muslim baru saja meresmikan pusat kegiatan sosial yang meriah. Lonceng lama sunyi, tapi azan baru menggema. Bukan karena satu agama mengalahkan yang lain, tapi karena satu generasi meninggalkan warisan spiritualnya… dan generasi lain datang dengan tekad untuk merawatnya.
Gereja menjadi hotel, bar, bahkan skatepark, sementara Islam mencoba menjadi rumah. Rumah bagi mereka yang masih percaya bahwa iman bukan hanya kisah masa lalu, tapi naskah masa depan yang sedang ditulis ulang.
Mungkin, saat dunia bertanya ke mana Tuhan pergi, jawabannya adalah, “Tuhan tak pernah pergi. Hanya saja, alamat-Nya pindah.”
Sebagai catatan akhir, Eropa kini bukan medan perang agama. Ia adalah panggung besar, di mana satu generasi menyerahkan baton spiritual kepada yang lain dengan sedikit drama, banyak ironi, dan segelas espresso di atas altar bekas.
Amin. Wassalam. Cheers. Mungkin, “Selamat datang di Masjid St. Joseph.”