Haji, Debu, dan Dusta Kolektif : Absurditas Pelaksanaan Haji 2025, Ketika Petugas Sibuk Mengejar Pahala Sendiri

Kematian Jamaah Haji & Kegagalan Logistik: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Haji adalah rukun Islam kelima. Namun, bagi sebagian umat dan petugas, ia telah bertransformasi menjadi semacam ajang tahunan bertabur absurditas kolektif. Sebuah pertunjukan spiritual yang dibumbui keringat, kesalahan manajemen, dan ambisi pribadi terselubung. Seperti halnya sinetron panjang tanpa akhir, haji tahun 2025 kembali menyuguhkan drama klasik, petugas haji yang lebih sibuk mengejar pahala pribadi dari menolong jamaah yang tersesat ke dapur katering Bangladesh.

Selly Andriany Gantina dari DPR, dalam semangat kenegaraan yang tak kalah religiusnya dari khutbah Idul Adha, menyampaikan bahwa ada oknum petugas haji, terutama dari Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD), yang justru tenggelam dalam syahwat ibadah personal. Mereka melupakan tugas, karena mungkin mereka menyangka Tuhan sedang membuka flash sale pahala di Masjidil Haram, dan mereka harus checkout duluan. Di tengah gelombang manusia yang mengejar makna hidup dan diskon surga, para petugas ini justru berubah menjadi jamaah super-solo yang anti-repot dan anti-membantu. Haji jadi seperti liburan rohani, di mana kerja adalah dosa dan membantu sesama dianggap mengurangi kadar kekhusyukan.

Lucunya, TPHD ini diisi oleh orang-orang dekat kepala daerah. Barang kali dalam ilmu fiqih kekuasaan modern, hanya yang dekat kekuasaanlah yang dekat dengan Ka’bah. “Yang penting akrab dengan bupati, bukan dengan bahasa Arab,” begitu mungkin prinsip rekrutmennya. Maka tidak heran, ketika para jamaah bingung bertanya arah ke maktab, petugas hanya menjawab, “Saya juga bingung, Pak. Kita bingung bersama itu indah.”

Ketua kloter pun tak luput dari kritik. Mereka, katanya, adalah PNS yang sedang pensiun. Karena memang tidak ada cara pensiun yang lebih heroik dari memimpin 450 jamaah ke Tanah Suci dengan bekal bahasa Arab setara Google Translate rusak. Mereka tidak tahu syarikah itu siapa, padahal tugas mereka adalah bernegosiasi dengan entitas bernama syarikah yang mungkin saja hanyalah metafora dari kesabaran kolektif. Maka perjalanan suci ini berubah jadi manajemen krisis permanen, dengan tambahan panas 47 derajat Celsius dan jantung jamaah yang berdetak seperti lagu EDM sebelum pingsan.

Tapi jangan khawatir. Pemerintah sudah menambah kuota petugas haji. Bukan karena petugas yang lama kurang mampu, tapi karena kebingungan harus dirayakan bersama. Dalam logika spiritual ala birokrasi, semakin banyak petugas, semakin suci acara. Seperti syuting sinetron religi: semakin banyak figuran bersorban, semakin terasa aura ketuhanannya.

Lalu kita tiba pada angka yang lebih menyentuh, 183 jemaah wafat. Penyebabnya standar: jantung, dehidrasi, kegagalan organ, dan kegagalan negara memahami bahwa orang tua dengan penyakit kronis tidak bisa dibawa berdesak-desakan selama lima hari dalam suhu oven. Tapi mari jangan salahkan siapa-siapa. Karena dalam tafsir modern, kematian adalah bagian dari takdir… dan ketidaksiapan logistik.

Angka kematian yang sedikit lebih rendah dari tahun lalu disambut dengan tepuk tangan diam-diam. Sungguh, keberhasilan haji kini diukur dari siapa yang mati lebih sedikit, bukan siapa yang pulang lebih tercerahkan. Barang kali, kita memang telah memaknai ulang haji bukan sebagai transformasi ruhani, tapi sebagai proyek evaluasi tahunan berbasis PowerPoint. Karena sejatinya, setelah jamaah pulang dan koper mereka dibongkar, yang paling dibicarakan bukan lagi makna hidup, tapi siapa yang dapat kurma Ajwa paling banyak dan siapa yang ketemu Ustaz viral di hotel bintang lima.

Haji, pada akhirnya, bukan hanya ibadah. Ia adalah panggung besar tempat absurditas, spiritualitas, dan kepentingan berdesakan seperti thawaf. Di antara denting doa dan derit koper, ada pertanyaan mendalam yang tak terjawab: apakah kita ke Mekkah mencari Tuhan, atau sekadar pelarian dari ketidakjelasan hidup, ditemani AC rusak dan roti kering khas katering?

Maka wahai para calon petugas haji masa depan, belajarlah bahasa Arab bukan hanya dari subtitle sinetron. Wahai panitia seleksi, pilihlah yang paham medan, bukan hanya yang paham Bupati. Dan wahai seluruh umat, ketahuilah bahwa haji bukan jalan pintas ke surga, apalagi jika sepanjang perjalanan Anda justru menjadi beban bagi yang lain.

Tuhan tidak butuh kita datang ke rumah-Nya sambil membawa kebingungan massal dan logistik kacau. Dia butuh kita pulang dalam keadaan berubah, bukan hanya berfoto di depan Ka’bah dengan caption “akhirnya kesampaian”.

Semoga tahun depan haji lebih baik. Atau minimal, lebih masuk akal. *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Top