Mengapa Arab Saudi Ancam Potong Kuota Haji Indonesia hingga 50%? Ini Penjelasannya

Baru-baru ini dunia perhajian Indonesia dikejutkan oleh wacana dari Kerajaan Arab Saudi yang akan memangkas kuota haji Indonesia sebanyak 50 persen. Ya, betul. Lima. Puluh. Persen. Bukan lima persen. Bukan diskon Shopee. Ini bukan promo Ramadan, tapi lebih mirip seleksi alam dalam balutan ihram.

Konon katanya, pelayanan haji Indonesia pada tahun 2025 (1446 H) membuat pihak Saudi merasa seperti sedang ikut lomba panjat pinang saat musim haji, ribet, lengket, dan penuh drama. Dalam evaluasi yang sangat spiritual namun penuh spreadsheet, tim Saudi tampaknya kecewa berat, sampai-sampai muncul pertanyaan filosofis dari seorang pejabat: “Why do you bring people to death here?”

Pertanyaan yang sangat ontologis. Nyaris sufi. Tapi juga, ya… valid.

Sejak tahun ini, tongkat estafet penyelenggaraan haji resmi berpindah dari tangan Kementerian Agama ke Badan Pengelola Haji (BP Haji), lembaga baru yang katanya akan membawa angin segar, walau jemaah yang meninggal justru karena napas terakhir.

Kepala BP Haji, Gus Irfan, dengan wajah penuh harapan dan PowerPoint 70 slide, menyampaikan bahwa mereka siap memperbaiki manajemen. Mulai dari data kesehatan yang selama ini lebih misterius dari umur sebenarnya tokoh Mak Lampir, hingga manajemen keberangkatan yang katanya akan lebih “terkoordinasi”. Kata kunci, akan.

“Tahun depan manajemennya beda. Sistemnya beda. Semuanya beda. Kecuali jamaahnya tetap manusia.” Gus Irfan, 2025

Salah satu alasan utama pengurangan kuota ialah meningkatnya angka jamaah wafat, termasuk yang sudah meninggal di atas pesawat, sebelum sempat selfie di Bandara Madinah. Salah satunya adalah Nyai Nur Fadillah (45), yang meninggal dua jam sebelum mendarat. Belum sempat menyentuh tanah Arab, tapi sudah dijemput tamu tak diundang.

Arab Saudi kemudian bertanya dengan getir, “Kenapa mengirim orang yang sudah setengah jalan ke akhirat?”

Pertanyaan yang mengandung makna spiritual sekaligus kritik logistik. Apakah ibadah haji sekarang menjadi paket “Umroh plus UGD”? Atau memang sudah waktunya kita mempertimbangkan haji via Zoom dengan tambahan filter Kabah dan suara takbir buatan?

5,5 Juta Orang dalam Antrean Abadi

Saat ini, jumlah calon jemaah haji Indonesia mencapai 5,5 juta orang, dengan masa tunggu yang bisa bikin kita sempat kuliah, kerja, pensiun, dan reinkarnasi (kalau percaya) dulu. Di Bantaeng, Sulawesi Selatan, masa tunggunya sampai 47 tahun. Ini bukan daftar tunggu haji. Ini daftar tunggu kehidupan berikutnya.

Kalau daftar tunggu ini orang, dia sudah bisa daftar pensiun dan punya cucu sebelum naik pesawat ke Jeddah. Bahkan bisa jadi, ketika gilirannya tiba, namanya sudah dijadikan nama jalan.

Visa Furoda, Harapan Tipis Kaum Tajir

Jalur haji Furoda, yakni jalur yang bisa membuat orang langsung berangkat tanpa antrean, tahun ini juga diblokir oleh Arab Saudi. Padahal, ini satu-satunya jalur yang membuat orang kaya bisa langsung cium Hajar Aswad tanpa harus menunggu sampai rambut ubanan atau planet Mars kolonisasi.

Tahun ini, semua jemaah, baik rakyat jelata maupun sultan TikTok, setara dalam ketidakpastian. Kapitalisme pun akhirnya tunduk pada birokrasi Arab.

Pemotongan kuota haji bukan sekadar masalah administratif. Ini adalah pertarungan eksistensial antara manusia, Tuhan, dan spreadsheet. Dalam filsafat haji kontemporer, ini bisa dianggap sebagai bentuk fitnah logistik akhir zaman.

Mungkin sudah saatnya kita bertanya, Apakah Tuhan menghitung pahala dari antrean?

Kalau iya, berarti yang nunggu 47 tahun bisa jadi masuk surga lewat jalur fast track, karena sabarnya sudah setara 14 Ramadan di Lampung tanpa listrik.

Pemotongan kuota haji Indonesia bukan sekadar wacana diplomatik, tapi juga refleksi absurd tentang birokrasi, spiritualitas, dan logika takdir. Kita sedang menyaksikan pertunjukan kolosal antara niat ibadah, badan rapuh, dan sistem yang terlalu manusiawi untuk mengurus urusan surgawi.

Kalau kuota benar-benar dipotong, mungkin sudah waktunya kita buat slogan baru, “Haji: Ibadah, Ujian, dan Undian.” Karena sekarang, masuk surga bukan cuma soal iman. Tapi juga soal antrian. *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Top