Oleh Rosadi Jamani
Di tengah dunia yang mengira cinta hanyalah DM mesra tengah malam, emot love merah, dan caption Instagram dengan lirik lagu mellow tahun 2000-an, Islam datang membawa kabar mengejutkan. Cinta itu bukan cuma perasaan meletup-letup yang bikin jantung senam Zumba. Ia adalah fitrah. Sebuah cetakan dari Tuhan langsung. Kalau cinta itu benda, mungkin dia dikirim pakai ekspedisi langsung dari langit, dengan label, “Jangan Disalahgunakan, Ini Serius.”
Cinta dalam Islam tidak main-main. Bukan sekadar “aku kangen kamu, padahal baru dua menit gak chat,” tapi sebuah urusan yang melibatkan keimanan, kesabaran, dan pengendalian diri selevel master shaolin. Cinta adalah fitrah, sifat dasar yang sudah ditanam sejak manusia versi beta ditiupkan ruh. Tapi tentu saja, karena manusia punya otak dan… ehm, nafsu, maka cinta pun bisa berubah dari pelukan lembut jadi kebakaran hutan dalam hitungan detik kalau tidak diarahkan ke jalan yang benar.
Dalam semesta cinta Islam, puncaknya bukan candle light dinner di rooftop, tapi cinta kepada Allah. Ini bukan jenis cinta yang bikin deg-degan karena takut gak dibalas, tapi jenis cinta yang bikin hati tenang walau dunia sedang blackout total. Alquran bahkan bilang, “Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165). Cinta level ini bukan main-main. Ia membuat seseorang rela bangun jam 4 pagi cuma buat salat, bukan buat check-in liburan. Ia bikin orang puasa, bukan karena diet, tapi karena cinta. Cinta yang bikin seseorang menangis bukan karena diputusin, tapi karena merasa jauh dari Tuhan. Cinta yang membuatmu menahan diri dari dosa, walau setan udah goyang TikTok di depan pintu.
Tapi tenang, cinta kepada Allah tak menghalangi cinta kepada manusia. Justru cinta kepada sesama adalah cabang dari cinta kepada-Nya. Rasulullah SAW yang tampan akhlaknya dan lembut hatinya bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim). Itu bukan cuma soal traktir makan atau bantu pindahan, tapi mencintai sampai tidak sanggup membiarkan saudaranya tergelincir ke dalam keburukan. Cinta yang bukan sekadar peluk-pelukan, tapi juga saling menarik ke arah surga. Sweet, kan?
Lalu muncullah sang aktor misterius yang sering jadi kambing hitam dalam kisah cinta, nafsu. Islam tidak membenci nafsu, tidak melemparnya ke laut, atau mengebiri kemanusiaan kita. Islam justru mengakui nafsu sebagai bagian dari desain Tuhan. Tapi seperti semua produk kompleks, ada manual penggunaannya. QS. Ali Imran: 14 sudah ngasih spoiler, manusia itu emang condong pada harta, perempuan, anak-anak, dan kuda pilihan (zaman sekarang mungkin motor gede, gadget terbaru, dan saldo e-wallet). Tapi Islam bilang, silakan cinta dunia, asal jangan dijadikan Tuhan kedua.
Karena nafsu yang tidak dikendalikan itu seperti naik roller coaster tanpa sabuk pengaman. Seru di awal, ngeri di akhir. Nafsu yang liar bisa menjebak manusia dalam cinta instan yang mulai dari “kita cocok nih” lalu meluncur ke “kita tinggal bareng yuk” padahal belum tentu cocok dalam urusan salat subuh. Islam mengingatkan, cinta sejati tidak liar, dia punya arah. Punya tujuan. Tujuan itu bukan kamar hotel, tapi rumah tangga.
Maka muncullah konsep pernikahan, yang dalam Islam bukan hanya surat nikah, tapi akad langit dan bumi. Suatu janji suci yang membuat cinta tidak sekadar hedonistik, tapi heroik. QS. Ar-Rum: 21 menyatakan dengan dramatis dan sangat manis, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” Lihat? Islam itu romantisnya halus. Bukan soal bunga mawar, tapi soal ketenangan batin. Tentram bukan karena Netflix dan chill, tapi karena saling mendoakan setelah salat malam.
Cinta dalam Islam adalah kontrak suci. Bukan kontrak sinetron yang bisa dibatalkan di episode 15 karena rating jelek. Ia adalah komitmen, pengorbanan, pengertian, dan tentu saja… perjuangan. Tidak ada “cinta sejati” yang mulus. Bahkan Nabi Muhammad SAW dan Siti Khadijah pun mengalami duka dan air mata. Tapi mereka bertahan, karena cinta mereka bukan untuk saling miliki, tapi untuk saling bawa ke surga.
Akhirnya, Islam menutup buku cinta ini dengan satu pesan agung, cinta yang hakiki adalah cinta yang membawa kita lebih dekat kepada Allah. Kalau cintamu bikin lupa salat, bikin hidup makin jauh dari nilai kebaikan, atau bikin kamu lebih sering marah dari sabar, maka maaf, itu bukan cinta. Itu mungkin cuma hormon lewat tengah malam. Cinta yang sejati bukan bikin kamu lupa Tuhan, tapi justru bikin kamu makin merapat, makin taat, dan makin semangat meraih ridha-Nya.
Karena pada akhirnya, cinta bukan tentang “kita atau tidak sama sekali.” Tapi tentang, “kalau ini benar cinta, maka biarlah Allah yang merestui.” Karena cinta bukan hanya rasa. Ia adalah jalan menuju surga. Jika cinta itu harus dilalui dengan tangisan, pengorbanan, dan kesabaran, maka biarlah. Karena yang sejati memang tak pernah mudah. Tapi ia selalu pantas diperjuangkan.
Begitulah Islam memandang cinta. Bukan sekadar drama. Tapi epik yang melibatkan langit dan bumi. Allahu akbar. Love you, tapi takut dosa.