Ternyata Wakaf Abadi dari Aceh untuk Dunia

Mungkin ini yang dinamakan the miracle of wakaf. Diniatkan pada abad ke-19, tapi buahnya masih dipetik hingga hari ini. Setiap tahun. Setiap musim haji. Jamaah asal Aceh di Mekkah, menerima rezeki dari tanah yang tak lagi tampak, namun berkahnya menjelma hotel bintang lima. Inilah kisah luar biasa dari seorang lelaki bernama Habib Bugak Asyi, yang membuktikan bahwa keabadian bisa dibangun, bukan dengan kekuasaan, bukan dengan ketenaran, tapi dengan niat, wakaf, dan cinta kepada sesama.

 

Nama aslinya adalah Habib Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi. Ia datang ke Aceh dari Hadramaut, Yaman, sekitar tahun 1760. Di masa itu, Aceh merupakan pusat penting di kawasan Nusantara. Pelabuhan strategis, pusat dakwah, sekaligus pintu masuk utama jamaah haji dari Asia Tenggara ke Tanah Suci.

 

Habib Bugak tidak datang hanya sebagai ulama. Ia juga saudagar. Di tengah kegemerlapan dunia, ia justru membangun hidup dengan landasan akhirat. Ia memahami satu hal penting, harta bisa habis, tapi wakaf bisa terus hidup, kalau benar cara mengelolanya.

Wakaf di Tanah Paling Mahal di Muka Bumi

Pada tahun 1809, Habib Bugak membuat langkah yang bahkan di zaman sekarang pun sulit ditiru oleh filantropis mana pun. Ia membeli sebidang tanah di dekat Masjidil Haram, jantung spiritual umat Islam sejagat raya, lalu mewakafkannya khusus untuk jamaah haji asal Aceh.

Bayangkan! Saat dunia belum mengenal inflasi, dia sudah memikirkan nilai abadi dari properti suci itu. Saat dunia belum mengenal konsep “aset produktif”, dia sudah menanamkan satu, di jantung Mekkah. Bukan untuk bisnis. Bukan untuk dirinya. Tapi demi sebuah bangsa kecil di ujung barat Nusantara, yang dalam sejarahnya dikenal gigih mencintai Islam, Aceh Darussalam.

Dari Tanah Wakaf ke Hotel Bintang Lima

Zaman berganti. Mekkah berekspansi. Masjidil Haram diperluas. Tanah wakaf Habib Bugak terkena proyek pemerintah Arab Saudi. Tapi inilah titik balik. Pemerintah Saudi mengganti dan mengompensasi tanah tersebut dengan dana besar, karena statusnya sebagai wakaf resmi.

Dari situlah, dengan pengelolaan profesional dan nazhir terpercaya, didirikan jaringan properti:

  • Hotel Elaf Masyair (bintang lima, 650 kamar, 250 meter dari Masjidil Haram),
  • Hotel Ramada (bintang lima, 1.800 kamar, 300 meter dari Haram),
  • Hotel Wakaf di Aziziah (kapasitas 750 orang, khusus untuk jamaah Aceh),
  • serta gedung-gedung wakaf di Syaikiyah dan Aziziah, termasuk tempat tinggal gratis bagi mukimin Aceh.

Bukan cuma properti. Ini peradaban yang dijelmakan. Doa yang dimaterialkan. Sedekah yang diorganisir menjadi sistem ekonomi spiritual.

Manajemen Profesional: Satu Nama, Satu Amanah

Wakaf ini dikelola oleh satu nama: Syekh Abdul Latif Baltou, nazhir wakaf yang ditunjuk langsung oleh Pemerintah Arab Saudi. Selama lebih dari 15 tahun, ia menjadi penjaga amanah, memastikan hasil dari semua properti itu tidak lenyap di antara laporan dan laba, tetapi mengalir, ke tangan jamaah haji Aceh setiap tahun. Ini bukan kerja biasa. Ini kerja lintas generasi. Kerja antara manusia dan keabadian.

Hasil dari wakaf tersebut dibagikan rutin setiap musim haji. Pada tahun 2024, setiap jamaah Aceh menerima 2.000 Riyal Saudi (sekitar Rp 8,6 juta). Jumlah ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya 1.500 Riyal. Bahkan petugas haji, tenaga musiman, dan mukimin Aceh di Saudi turut merasakan manfaatnya.

Bayangkan betapa menenangkan: berangkat haji, dan di tengah hiruk-pikuk ibadah, ada secarik amplop yang membawa berkah dari leluhurmu, leluhur yang mungkin tak pernah kau kenal, tapi mencintaimu dari masa lalu.

Wakaf Produktif: Amal Jariyah yang Tak Pernah Putus

Wakaf Habib Bugak adalah wakaf produktif yang dikelola profesional, bukan sebatas batu nisan atau plakat peringatan. Inilah model yang sekarang jadi contoh di dunia Islam: harta diwakafkan, dimanfaatkan secara ekonomi, lalu keuntungannya digunakan untuk kemaslahatan umat, tanpa henti.

Ia bukan cuma meninggalkan amal, tapi membangun sistem keuangan sosial. Bahkan jauh sebelum konsep sustainable finance menjadi tren global.

Ketika Derma Tak Butuh Konten

Di era sekarang, orang memberi harus disaksikan kamera. Harus ada narasi, harus ada editing, harus ada hashtag. Tapi Habib Bugak memberi dalam sunyi. Ia tidak bikin vlog. Tidak ada “Konten Wakaf Challenge”. Tidak ada endorse dari ustaz YouTube. Tapi hari ini, namanya disebut dalam ratusan khutbah, tahlilan, dan air mata para jamaah haji Aceh. Karena cintanya tidak viral, tapi abadi.

Setiap tahun, sekitar 4.000–6.000 jamaah haji asal Aceh diberangkatkan. Setiap mereka, menerima berkah dari lelaki yang wafat dua abad lalu. Bahkan anak-anak Aceh yang mukim di Saudi, bisa tinggal di rumah hasil wakafnya.

Sementara kita? Kadang masih mikir dua kali buat traktir teman kopi. Masih menawar saat diminta donasi masjid. Masih menunda sedekah karena nunggu gajian. Padahal, Habib Bugak telah menunjukkan: keabadian bukan milik selebritas atau politikus. Tapi milik mereka yang menanam untuk akhirat, dan memanen untuk umat.

Jika kelak anak cucu Aceh berjalan di koridor hotel Mekkah dengan uang saku 2.000 Riyal, semoga mereka tahu: ada satu lelaki, yang pernah hidup sederhana, tapi memilih cara paling luar biasa untuk tetap hidup.

Namanya: Habib Bugak Asyi.

Ia tidak bikin drama.

Ia tidak cari nama.

Tapi ia membangun sejarah yang tidak akan pernah usang. *

 

Foto: Hotel Wakaf di Aziziah dikhususkan untuk jamaah haji asal Aceh (sumber klikdmi.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Top