Dalam Islam, ada hadis yang sangat masyhur: “Setiap orang akan dibangkitkan sesuai dengan keadaan saat ia wafat.” (HR. Muslim). Maka berbahagialah mereka yang wafat dalam keadaan beribadah. Apalagi jika ia wafat di atas mimbar, dalam khutbah Jumat, dalam keadaan menyerukan kalimat tauhid kepada umat. Itulah yang terjadi pada Ustaz Yahya Waloni pada Jumat, 6 Juni 2025. Di Masjid Darul Falah, Minasa Upa, Makassar, khutbahnya bukan hanya khutbah mingguan biasa. Itu adalah khutbah perpisahan seorang hamba kepada dunia yang fana, menuju Rabb-nya Yang Maha Kekal.
Pagi itu, tak ada yang mencurigakan. Ustaz Yahya tiba di masjid dengan senyum dan tenang. Ia baru saja menyampaikan khutbah Idul Adha di pusat Kota Makassar. Masih dengan suara lantangnya yang khas, ia menyampaikan tentang makna pengorbanan, tentang tauhid, tentang keteguhan Ibrahim dan Ismail. Tak ada yang menyangka, khutbah kedua di hari yang sama akan menjadi khutbah terakhirnya di dunia.
Pukul 12.30 WITA, ia naik mimbar. Jamaah memadati masjid. Suara azan masih terasa menggema dalam dada, lalu khutbah dimulai. Ia mengangkat tema tauhid—sebuah tema yang sejak ia masuk Islam tahun 2006 menjadi napas hidupnya. Dengan penuh semangat, ia menyampaikan pesan-pesan keimanan: tentang keesaan Allah, tentang bahayanya syirik, tentang pentingnya menjadikan Islam sebagai satu-satunya jalan hidup. Kata-katanya tegas, tajam, dan penuh keyakinan. Mungkin karena ia tahu betapa gelapnya hidup dalam kekufuran, sebelum akhirnya Allah membukakan pintu hidayah padanya.
Saat khutbah kedua dimulai, suaranya mulai melemah. Bukan karena tak siap. Bukan karena lupa naskah. Tapi karena nyawa itu perlahan ditarik. Malaikat maut mulai melingkari mimbar itu. Langit dan bumi bersaksi, bahwa di hadapan ratusan jamaah, seorang mantan pendeta yang telah hijrah itu sedang dipersiapkan untuk kematian paling mulia: wafat dalam keadaan berdakwah. Sebelum doa penutup sempat terucap, tubuh itu jatuh perlahan. Lalu senyap. Detik demi detik menjadi sunyi yang menggigilkan. Tak ada gemuruh. Hanya desahan zikir dan takbir yang lirih.
Jamaah panik. Tapi Allah sudah menulis takdir-Nya. Pukul 13.00 WITA, ia dinyatakan wafat setelah sempat dilarikan ke rumah sakit. Jenazahnya dibawa kembali ke masjid. Ia disemayamkan di sisi mimbar, tempat terakhir ia berdiri untuk Islam. Wajahnya teduh, damai, seperti seorang syuhada yang baru saja pulang dari medan perjuangan. Pukul 13.30 WITA, seluruh masjid sunyi. Hanya air mata yang berbicara.
Ustaz Yahya Waloni bukan ulama biasa. Ia lahir pada 30 November 1970, di Manado, Sulawesi Utara. Terlahir dalam keluarga Kristen Minahasa, ia tumbuh menjadi seorang tokoh agama yang disegani. Ia memiliki gelar doktor dari Institut Theologia Oikumene Imanuel Manado dan pernah menjabat sebagai Rektor Sekolah Tinggi Teologi Eben-Haezer. Tapi pada 11 Oktober 2006, ia dan istrinya Lusiana—yang kini dikenal sebagai Mutmainnah—mengucapkan dua kalimat syahadat di Tolitoli, Sulawesi Tengah. Dunia lama ia tinggalkan. Gelar, jabatan, keluarga, teman, semua ia lepaskan demi Islam.
Hijrahnya bukan tanpa ujian. Ia dicaci. Ia diancam. Tapi ia memilih istiqamah. Ceramah-ceramahnya penuh semangat dan keberanian. Ia bicara soal perbandingan agama bukan dengan diplomasi, tapi dengan keyakinan. Ia menyampaikan ayat-ayat tauhid tanpa kompromi. Akibatnya, pada 26 Agustus 2021, ia ditangkap oleh Bareskrim Polri karena dituduh menistakan agama. Ia menyebut Injil sebagai kitab fiktif. Kontroversi meledak. Ia dijatuhi hukuman 5 bulan penjara dan baru bebas pada 31 Januari 2022. Tapi ia tak pernah berhenti. Karena dakwah, bagi Yahya Waloni, bukan sekadar profesi. Tapi panggilan hidup.
Beberapa mencaci. Beberapa membela. Tapi semua sepakat: Yahya Waloni adalah sosok yang tak biasa. Ia bisa membuat orang tertawa, marah, kagum, dan bertanya-tanya dalam satu ceramah. Gaya bicaranya keras, retorikanya tinggi, dan ilmunya dalam. Ia menolak jalan moderat jika itu berarti melemahkan akidah. Ia memilih menjadi batu karang di tengah gelombang kompromi zaman. Dan ketika ajal datang, Allah memanggilnya dengan cara yang sangat istimewa: di atas mimbar, saat menyerukan keesaan-Nya.
Adakah kematian yang lebih mulia dari itu? Dalam hadis disebutkan, “Barangsiapa wafat pada hari Jumat atau malam Jumat, maka ia akan dilindungi dari azab kubur.” (HR. Ahmad). Dan ia bukan hanya wafat di hari Jumat. Tapi saat khutbah. Di masjid. Dalam keadaan suci. Dalam khutbah yang menyerukan tauhid. Ini bukan kematian biasa. Ini hadiah.
Jenazahnya akan diterbangkan ke Jakarta. Tapi ruhnya telah lebih dulu terbang ke alam barzakh, menghadap Tuhannya. Meninggalkan dunia yang tak pernah benar-benar memahaminya. Dunia yang terlalu sibuk mengukur dengan popularitas, bukan keikhlasan.
Kini, kita tinggal dengan kenangan. Dengan suara kerasnya yang tak akan terdengar lagi. Dengan ceramah-ceramahnya yang mungkin masih tersimpan di YouTube. Tapi yang paling abadi bukan itu. Yang abadi adalah keberanian seorang hamba yang mengorbankan segalanya demi satu kalimat: Lā ilāha illallāh.
Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, menerima segala amal baiknya, dan menempatkannya di barisan para syuhada dan siddiqin. Bukan karena ia sempurna. Tapi karena ia telah mempersembahkan hidupnya untuk Islam dengan segenap jiwanya. Dan wafat dalam keadaan yang bahkan para ulama pun mengimpikannya.
Selamat jalan, Ustaz Yahya Waloni. Engkau telah menyelesaikan khutbah terakhirmu. Dan khutbah itu mengguncang langit lebih dari bumi.*