1.243 Jamaah Tertahan Berhaji 2025: Visa Bukan Penghalang Ibadah?

Haji Ditunda, Niat Suci Tertahan di Pintu Dunia, Menanti Restu Langit

Di tengah gegap gempita keberangkatan haji tahun 2025, terselip kisah pilu yang menggugah langit dan mengguncang nurani. Sebanyak 1.243 warga negara Indonesia, yang telah memantapkan niat lillāhi ta‘ālā untuk menunaikan rukun Islam kelima, terpaksa tertahan langkahnya oleh peraturan duniawi yang lebih saklek dari palu malaikat. Bukan karena mereka berdosa. Bukan karena mereka berpesta maksiat. Tetapi karena visa mereka tak tergolong dalam kategori “haji”.

Bayangkan, di Bandara Soekarno-Hatta, 719 orang telah bersuci, mungkin telah mengenakan ihram, membawa tasbih dan air zam-zam dalam botol plastik isi ulang, tetapi mereka harus menerima kenyataan pahit: “Anda tidak boleh berangkat, karena visa Anda bukan visa haji.” Di Juanda Surabaya, 187 orang ikut terhenti. Di Ngurah Rai, Denpasar: 52. Makassar: 46. Yogyakarta: 42. Kualanamu Medan: 18. Minangkabau: 12. Sultan Haji Sulaiman: 4. Ditambah pelabuhan di Batam: 82 di Citra Tri Tunas, 54 di Batam Center, dan 27 di Bengkong. Semua satu suara, ingin berhaji, tapi tak punya tiket syar‘i versi kerajaan.

Pertanyaannya: apakah haji harus menunggu restu visa dunia untuk sampai kepada Tuhan?

Syariat Islam menegaskan bahwa ibadah haji itu wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu. Tapi kemampuan bukan hanya soal uang dan fisik. Ia juga meliputi kemampuan administratif dan izin resmi. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menjelaskan bahwa syarat istithā‘ah (kemampuan) termasuk aman dan tersedia jalan. Di zaman kita, “jalan” itu telah menjelma menjadi dokumen dan otorisasi negara.

Suhendra dari Direktorat Jenderal Imigrasi menjelaskan bahwa meskipun para jamaah memiliki visa Arab Saudi, tapi karena bukan visa haji, maka keberangkatan mereka ditunda. Ini demi mencegah kekacauan di Tanah Haram dan pelanggaran terhadap kesepakatan antarnegara.

Maka di sinilah kita diuji. Apakah niat suci boleh ditempuh dengan cara yang tidak tertib? Ulama-ulama besar mengajarkan bahwa niat tidak membenarkan segala cara. Jika jalan menuju Ka’bah ditempuh dengan cara yang melanggar ketentuan, maka ibadah bisa tertolak, bahkan membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Pada musim haji 2024, sebanyak 1.301 orang wafat di Saudi, 80% di antaranya menggunakan visa nonhaji. Mereka tak tercatat secara resmi, tak terdata oleh layanan kesehatan, dan akhirnya menjadi korban dalam kerumunan Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Atas dasar ini, Kerajaan Saudi mengambil sikap tegas: tahun ini hanya pemegang visa haji resmi yang boleh masuk ke Makkah saat musim haji.

Sebagian dari kita mungkin merasa kesal. Tapi marilah kita mengingat bahwa ketaatan pada aturan adalah bagian dari syariat. Nabi Muhammad adalah manusia paling taat pada sistem, beliau tak pernah melanggar kesepakatan, bahkan dengan kaum kafir Quraisy. Maka siapakah kita yang hendak mencurangi sistem untuk pergi ke tempat paling suci di bumi?

Visa bukanlah penghalang ibadah. Ia hanyalah seleksi kemampuan. Sama seperti syarat naik gunung: harus sehat, harus kuat, harus punya izin masuk. Ka’bah bukan milik individu. Ia adalah rumah Allah yang punya aturan ziarah—sebagaimana masjid punya adab, dan jalan menuju surga tak bisa ditempuh lewat jalur liar.

Maka bagi mereka yang tertunda, bersabarlah. Bukankah Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah: 153)? Mungkin Allah tengah membersihkan niat kita, menunda keberangkatan agar pulang nanti bukan sekadar bawa kurma dan foto Ka’bah, tetapi benar-benar membawa haji yang mabrur, bukan sekadar mabrur versi grup WhatsApp.

Haji bukan sekadar perjalanan. Ia adalah panggilan. Dan tidak ada panggilan Allah yang datang tanpa waktu yang paling tepat.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Top