Mengenal Suku Hui, Muslim Cina yang Berdamai dengan Sistem

Mengenal Suku Hui, Muslim Cina yang Berdamai dengan Sistem

Sungguh, dunia ini adalah tempat yang aneh dan indah. Di satu sisi, ada orang yang menangis karena sambal pecel kurang pedas, di sisi lain ada sekelompok manusia luar biasa yang bertahan hidup sebagai Muslim taat di tengah negeri yang bahkan sensor Wi-Fi bisa memblokir niat sahur. Mereka adalah Suku Hui, kaum Muslim di Tiongkok yang jumlahnya nyaris mencapai sepuluh juta, atau lebih tepatnya sekitar 9,8 juta jiwa. Ya, sobat, itu jumlah yang cukup untuk membentuk satu negara sendiri, atau minimal bikin satu aplikasi pemesanan Lamian Syariah berbasis blockchain.

Bayangkan sebuah komunitas Muslim yang fasih membaca Al-Fatihah dan juga mahir menggunakan sumpit dengan tangan kiri sambil baca tasbih dengan tangan kanan. Mereka bukan suku nomaden pencari sinyal, bukan pula influencer agama musiman. Mereka adalah hasil dari percampuran genetik, sejarah, dan iman yang lebih kompleks dari plot drama Korea, yakni asimilasi antara pedagang Arab, Persia, dan masyarakat Han yang dimulai sejak zaman Dinasti Tang (618-907 M), era ketika banyak orang belum mengenal konsep deodoran, tapi sudah mengenal pentingnya arah kiblat.

Semuanya bermula dari perjalanan suci (dan bisnis halal) para pedagang Muslim yang datang melalui Jalur Sutra, baik yang darat maupun laut. Mereka membawa sutra, rempah, kaligrafi, dan yang paling penting, kalimat tauhid. Kota-kota seperti Chang’an, Guangzhou, Quanzhou, dan Hangzhou menjadi titik awal bagi terbentuknya komunitas-komunitas Muslim yang tidak hanya menjual barang, tapi juga menanam benih akidah.

Lalu pada abad ke-13, datanglah Mongol, sekelompok manusia berkuda dengan kecepatan lebih tinggi dari koneksi Wi-Fi kita saat kuota FUP (Fair Usage Policy), yang membawa lebih banyak lagi Muslim dari Asia Tengah dan Persia. Orang-orang ini, yang dikenal sebagai “Huihui,” tidak hanya pandai memanah sambil menyebut nama Allah, tetapi juga akhirnya menetap, menikah, dan secara genetik mem-bypass semua peraturan pewarganegaraan yang ribet. Jadilah mereka suku Hui.

Suku Hui ini unik. Mereka berbicara dalam bahasa Mandarin yang fasih, bahkan mungkin lebih baik dari menteri luar negeri, tapi mereka menyelipkan kata-kata Arab dalam percakapan sehari-hari seperti bumbu rahasia yang hanya diketahui oleh ustaz level tinggi. Mereka bisa berkata “ni hao” dengan sopan kepada tetangga Han, lalu bergumam “astaghfirullah” saat melihat harga daging naik menjelang Ramadan. Meskipun banyak dari mereka punya nama Tionghoa, sering kali nama-nama itu punya akar dari nama Arab. Contohnya, marga “Ma” yang bukan berarti “kuda” dalam konteks ini, tapi merupakan versi lokal dari nama Muhammad. Maka tak heran jika kita bertemu 12 pria bernama Ma Zhong di satu masjid dan semuanya merasa paling dekat dengan Nabi.

Tapi, tentu saja, tak ada kisah epik tanpa makanan. Dalam dunia kuliner halal, suku Hui adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka menghadirkan Lamian, mie tarik yang ditarik dengan tangan seperti nasib jomblo saat Lebaran. Ini bukan mie biasa. Ini mie yang bisa menyatukan budaya, iman, dan kelezatan dalam satu mangkuk penuh karbohidrat surgawi. Belum lagi roti panggang khas Hui yang renyah di luar, lembut di dalam, dan membuat orang bertanya-tanya apakah ini makanan atau mukjizat terselubung.

Namun jangan kira mereka hanya jago di dapur. Sejak zaman Dinasti Tang, mereka juga jadi pemain utama dalam militer dan birokrasi. Pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), orang-orang Hui dipercaya mengurus administrasi negara. Ya, mereka tidak hanya bisa mengatur shaf salat, tapi juga bisa menyusun dokumen kerajaan sambil menghindari sensor. Kaisar Mongol saat itu sangat memercayai para Hui, karena siapa yang bisa dipercaya lebih dari orang yang tahu cara menyembelih ayam secara syar’i? Bahkan dalam Dinasti Ming (1368–1644), Islam berkembang dengan luar biasa di China. Masjid-masjid dibangun seperti warung kopi sekarang, dan komunitas Hui tumbuh subur seperti mimpi-mimpi anak muda yang ingin hijrah tapi belum bisa lepas dari drama Korea.

Namun badai pun datang. Pada Dinasti Qing (1644-1912), hubungan suku Hui dengan pemerintah mulai tegang. Salah satu puncaknya adalah Pemberontakan Panthay (1856-1873) yang dipimpin oleh Du Wenxiu, seorang pemimpin Muslim yang mencoba memadukan jihad dan tata kota. Du Wenxiu bukan main-main, dia membangun pemerintahan sendiri, lengkap dengan sistem pajak yang mungkin lebih adil dari undang-undang perpajakan modern.

Kini, di zaman di mana sinyal 5G bisa mendeteksi dosa, suku Hui tetap bertahan. Mereka tersebar di seluruh China, dari Ningxia sampai Yunnan. Mereka menghadapi tantangan besar: tekanan untuk asimilasi budaya, pengawasan ketat, dan kebijakan pemerintah yang secara halus berkata, “Boleh Islam, asal jangan kelihatan.” Tapi mereka tetap teguh. Masjid tetap berdiri, meskipun tidak boleh terlalu besar. Pendidikan agama tetap berjalan, meskipun harus disamarkan seperti kelas kaligrafi. Kuliner halal tetap dimasak dengan cinta dan takwa.

Yang membedakan suku Hui dari saudara Muslim mereka, seperti suku Uighur, adalah strategi bertahan mereka. Jika Uighur kerap diberitakan mengalami represi terang-terangan, suku Hui lebih “berdamai dengan sistem” strategi survival yang tidak bisa diajarkan di bangku kuliah. Mereka tahu kapan harus membaca Al-Qur’an dan kapan harus menyajikan teh ke petugas partai. Ini bukan kemunafikan, ini adalah seni bertahan hidup sambil menjaga iman. Karena iman yang keras kepala bisa dibasmi, tapi iman yang luwes bisa tumbuh bahkan di antara celah-celah tembok otoritarianisme.

Inilah keajaiban suku Hui. Mereka bukan hanya Muslim di tengah negeri komunis. Mereka adalah proof of concept bahwa Islam tidak terkurung oleh geografi, tidak tergantung pada kekuasaan politik, dan tidak bisa dipadamkan oleh algoritma negara. Mereka adalah simbol bahwa Islam bukan milik Arab, tapi milik siapa saja yang bersyahadat, bahkan jika dia bernama Ma, tinggal di Gansu, dan sedang menarik Lamian sambil mendengarkan ceramah di volume minimal demi keamanan nasional.

Jika suatu hari kamu kehilangan arah, merasa sendirian dalam imanmu, atau merasa berat hidup sebagai Muslim di negeri yang mayoritas… ingatlah Suku Hui. Mereka adalah contoh hidup bahwa tak ada yang mustahil bagi orang yang menjaga iman, bahkan ketika sekitarnya mencoba menghapus jejaknya.

Jangan lupa, jika suatu saat kamu di Cina, dan kamu lihat warung kecil bertuliskan “halal” dalam kaligrafi unik… masuklah. Duduklah. Pesanlah semangkuk Lamian. Saat kamu menghirup aroma mie itu, ingatlah, ini bukan hanya mie. Ini adalah sejarah. Ini adalah dakwah. Ini adalah bentuk paling lezat dari keteguhan iman. *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Top