Kesombongan dalam Pandangan Islam, Belajar dari Kisah Jan Hwa Diana
Kisah Jan Hwa Diana sangat epik. Walau warga se-Kota Surabaya menghujatnya, ia tetap slow. “Mane duli,” kate budak Sanggau Kalbar. Ia sombong, ada benarnya. Namun, semua itu runtuh setelah Pemkot Surabaya yang sudah “manas” menyegel gudang milik pengusaha wanita itu.
Surabaya bukan sekadar kota pahlawan, tapi juga panggung tempat drama sosial, moral, dan spiritual dipentaskan dengan nyata. Kisah Jan Hwa Diana dan 31 ijazah yang disandera menjadi refleksi besar tentang satu penyakit hati paling tua dalam sejarah manusia, kesombongan.
1. Kesombongan: Akar Iblis, Pangkal Kehancuran
Dalam Islam, kesombongan bukan sekadar sifat buruk. Ia adalah dosa besar. Bahkan, dalam sejarah penciptaan manusia, kesombongan adalah dosa pertama yang dilakukan makhluk Allah. Iblis menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam karena ia merasa lebih mulia:
“Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf: 12)
Iblis tidak membangkang karena lelah, lalai, atau tak sengaja. Ia menolak karena sombong. Dari situlah ia terusir, dilaknat, dan menjadi musuh utama manusia. Sifat ini tidak lekang oleh waktu. Ia hidup dalam berbagai rupa, dalam berbagai kelas sosial, termasuk dalam kisah seorang pemilik perusahaan bernama Jan Hwa Diana. Gudang perusahaan terpaksa disegel oleh Pemerintah Kota Surabaya atas kesombongannya menahan 31 ijazah karyawannya.
2. Ketika Kesombongan Berwujud Bisnis
Bayangkan, 31 ijazah ditahan. Ijazah yang menjadi hasil dari kerja keras dan impian orang-orang kecil, disandera oleh sebuah entitas bisnis yang merasa berkuasa. Jan Hwa Diana tidak bicara, tidak muncul, bahkan ketika Pemkot menyegel gudangnya. Ia slow, dengan ketenangan yang memancing tanya, ini kesombongan atau strategi?
Dalam Islam, sombong didefinisikan oleh Rasulullah SAW secara jelas:
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim)
Menolak bertemu Wakil Walikota Surabaya, lalu melaporkannya ke polisi, jelas tidak menghormati penguasa wilayah. Lalu, mengabaikan jeritan mantan karyawan. Ketika Pemkot Surabaya melakukan penyegelan, lalu Jan Hwa Diana malah mewakilkan tanpa hadir, adalah cerminan sempurna dari kesombongan itu. Ia bukan sekadar diam. Ia menolak hadir dalam kebenaran.
3. Perspektif Ulama: Sombong dan Kekuasaan
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa kesombongan adalah penyakit hati yang muncul dari keinginan untuk merasa lebih dari orang lain dalam hal kekuasaan, kekayaan, atau ilmu.
Menurut beliau, sombong itu ada tujuh jenis. Yang paling berbahaya adalah kesombongan atas dasar jabatan dan harta, karena orang seperti ini merasa tidak membutuhkan manusia lain, apalagi koreksi.
Jan Hwa Diana, sebagai pemilik usaha, merasa memiliki kendali penuh atas masa depan karyawannya. Bagi sebagian orang, itu bukan hanya salah, tapi dzalim. Menahan ijazah sama dengan menahan hak orang untuk hidup. Dan dalam Islam, kedzaliman adalah pintu kehancuran.
“Sesungguhnya Allah tidak akan menolong suatu kaum yang di dalamnya terdapat orang-orang dzalim.” (QS. Al-Anfal: 25)
4. Filsafat Islam: Keangkuhan Melawan Tauhid
Dalam perspektif filsafat Islam, terutama dalam pemikiran Syaikh Murtadha Mutahhari dan Al-Farabi, kesombongan adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip tauhid. Manusia yang sombong sedang menempatkan dirinya pada posisi Tuhan, ia merasa bisa menentukan hidup orang lain, menentukan rezeki, bahkan menentukan nilai manusia.
Jan Hwa Diana barangkali merasa perusahaan miliknya adalah segalanya. Bahwa tanpa tandatangannya, masa depan 31 orang tidak akan berjalan. Tapi Islam mengingatkan:
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. Al-Isra’: 37)
Filsafat Islam memandang bahwa kesombongan memutus koneksi spiritual antara manusia dengan Allah. Ia menjauhkan hati dari empati, dan menjadikan manusia buta akan realitas sosial. Ketika pengusaha melihat karyawan bukan sebagai manusia tapi sebagai alat produksi, maka di situlah ruh keadilan Islam runtuh.
5. Ketika Hukum Menegur, Ketika Rakyat Bicara
Penyegelan oleh Pemkot Surabaya bukan hanya tindakan administratif. Itu adalah “teguran sosial” terhadap arogansi. Ketika negara bergerak, itu adalah pesan bahwa tidak ada yang kebal hukum, bahkan orang yang paling slow sekalipun.
Rakyat Surabaya tidak hanya marah karena ijazah ditahan. Mereka muak karena merasa diremehkan. Mereka merasa harga diri mereka diinjak. Dan dalam Islam, harga diri adalah hak yang tak boleh disentuh.
“Barangsiapa yang merendahkan seorang Muslim, maka Allah akan merendahkannya di hadapan makhluk di hari kiamat.” (HR. Ahmad)
6. Hikmah: Antara Dosa dan Taubat
Jika kisah ini mengandung pelajaran, maka pelajarannya adalah tak selamanya kesombongan menang. Pintu taubat selalu terbuka bagi siapa pun, termasuk Jan Hwa Diana. Namun, taubat bukan sekadar menangis di pojok kamar. Ia harus dimulai dengan mengembalikan hak, meminta maaf kepada yang dizalimi, dan memperbaiki sistem.
Para ulama menyatakan, salah satu bentuk taubat paling tinggi adalah at-taubat al-nasuha, taubat yang tidak hanya menyesal, tapi juga disertai dengan perubahan nyata.
Kini gudang itu disegel. Operasi berhenti. Tapi pelajaran spiritual baru saja dimulai. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada Jan Hwa Diana di balik layar. Tapi sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk mengambil hikmah dari setiap peristiwa. Bahkan dari mereka yang tidak kita sukai, bahkan dari keburukan.
Kesombongan tidak membawa kemuliaan. Ia hanya membuat seseorang terlihat tinggi di mata manusia, tapi hina di mata langit. Karena dalam Islam, kemuliaan bukan pada harta, jabatan, atau kesenyapan. Tapi pada hati yang bersih, pada jiwa yang rendah hati.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Maka wahai manusia, jangan sombong hanya karena punya gudang, punya usaha, atau punya kuasa. Karena kelak, semua itu akan ditinggal. Yang tersisa hanyalah amal, air mata mereka yang kau sakiti, dan ijazah-ijazah yang kau tahan, yang akan bersaksi di hadapan Tuhan.