Haji 2025 : Wukuf di Arafah dengan Suhu 50 Derajat Celsius

Haji 2025 ini bukan hanya tentang rukun Islam kelima, tapi juga tentang bagaimana manusia diuji dengan cara yang sangat literal, dibakar hidup-hidup dalam suasana religius. Saat jemaah lain menangis karena dosa-dosa, sebagian lagi menangis karena mata mereka meleleh akibat suhu 50 derajat Celcius. Arafah bukan lagi sekadar padang tempat munajat, tapi berubah menjadi panggung uji ketahanan daging manusia. Para filosof bisa saja berdebat tentang eksistensi Tuhan, tapi di Arafah, eksistensi AC-lah yang benar-benar menyelamatkan umat.

Pemerintah Arab Saudi telah memasang 400 pendingin tambahan di tenda-tenda wukuf, membentangkan 50.000 meter persegi area teduh, dan mengerahkan lebih dari 250.000 tenaga medis. Tapi tetap saja, pertanyaan eksistensial muncul, mengapa kita masih berdiri di tengah padang gurun panas demi sejumput pahala, sembari perlahan-lahan berubah menjadi sate spiritual? Mungkin karena manusia, dalam nalurinya, ingin diuji. Atau karena sudah telanjur bayar ONH mahal, jadi pantang pulang sebelum kulit terpanggang.

Imbauan untuk tidak menaiki Jabal Rahmah kali ini disampaikan dengan sopan. Tapi mari kita jujur, yang naik bukit siang-siang dalam suhu 50 derajat bukan mencari rahmat, tapi mungkin mencari azab dengan sistem cicilan. Bukit itu dulu saksi cinta Adam dan Hawa, tapi sekarang lebih cocok jadi saksi drama dehidrasi massal. Kalaupun jodoh ente ada di atas sana, dia juga sudah turun duluan, nyari kipas angin.

Tentu saja, heatstroke kini menjadi rukun keenam yang tidak tertulis. Bayangkan ente sedang takbir penuh khusyuk, lalu tiba-tiba mata berkunang, mulut komat-kamit bukan karena doa, tapi karena elektrolit tubuh kabur entah ke mana. Di situ, antara sadar dan tak sadar, ente mungkin sempat berbisik, “Ya Allah, ini panas dunia atau trailer neraka?” Allah, yang Maha Mendengar, mungkin menjawab dengan lirih, “Makanya, jangan nekat keluar tenda jam dua siang.”

Air zamzam jadi rebutan, tapi mari kita renungkan, apakah air zamzam adalah solusi atau hanya simbol? Di tengah suhu membara, orang meminumnya seperti ramuan keabadian. Padahal, kalau ente minum zamzam lalu lanjut tahlilan di bawah matahari, bukan pahala yang datang duluan, tapi ambulans.

Menariknya, banyak jemaah lebih memilih dirawat di Klinik Kesehatan Haji Indonesia ketimbang rumah sakit Arab Saudi. Alasannya sederhana, di sana bisa rebahan sambil ngobrol pakai bahasa ibu, pakai batik, dan kadang ditawari teh manis. Bukankah ini membuktikan bahwa surga itu bukan tentang tempat, tapi tentang rasa nyaman? Bahkan dalam sakit pun, orang butuh konteks budaya dan logat familiar. Ini adalah dalil tidak tertulis bahwa keimanan juga membutuhkan keramahan.

Hingga 4 Juni 2025, tercatat 125 jemaah Indonesia telah wafat. Mayoritas berusia 70 tahun ke atas. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah ini pengorbanan atau kesalahan manajemen? Di sisi langit, mungkin para malaikat menyiapkan sambutan agung. Tapi di sisi bumi, kita bertanya, apakah sistem seleksi kesehatan jemaah hanya formalitas? Apakah kita mengirim mereka ke tanah suci atau ke arena gladiator spiritual?

Namun, jangan buru-buru menyalahkan siapa pun. Dalam setiap panas yang membakar, ada cinta Tuhan yang menyala-nyala. Dalam setiap peluh yang menetes, ada doa yang mengalir. Dan dalam setiap tenda ber-AC, ada rahmat yang tersembunyi, mungkin lebih mulia daripada mendaki bukit dengan kepala nyaris meledak. Haji bukan tentang siapa paling nekat keluar siang hari, tapi siapa paling bijak membaca situasi sambil tetap menjaga syariat.

Maka, wahai para jemaah, jangan hanya haus pahala. Hauslah air putih. Jangan hanya berambisi menapak surga, tapi juga lindungi ginjal. Jangan cuma khusyuk berzikir sambil berdiri di bawah matahari, karena Allah tidak meminta ente gosong sebagai bentuk cinta. Ibadah bukan soal seberapa heroik, tapi seberapa cerdas ente bertahan.

Bagi kita yang belum berhaji, belajarlah dari ini semua. Bahwa naik haji bukan hanya tentang niat dan ongkos, tapi juga tentang akal sehat, kesiapan fisik, dan kedewasaan spiritual. Kalau belum kuat, ya sabar. Allah itu tidak ke mana-mana. Tapi kulit ente, kalau melepuh, susah baliknya.

Allahu A’lam. Semoga AC tetap nyala

sampai akhir zaman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Top