Uyghur, Muslim Tanpa Negara, Islam Tanpa Jeda, dan Dunia yang Berlagak Tuli
Di atas hamparan gurun dan pegunungan tandus Xinjiang, di tanah seluas 1,6 juta kilometer persegi, yang lebih besar dari Iran, lebih luas dari Mesir, bahkan cukup untuk menyimpan seluruh koleksi kebohongan dunia modern, tinggallah sebuah kaum yang kini ditelantarkan sejarah, diasingkan teknologi, dan dibungkam oleh manusia yang mengaku maju. Mereka Muslim. Mereka beriman. Mereka Uyghur.
Mereka bukan kelompok fiktif hasil script sinetron. Mereka bukan NPC dalam game geopolitik global. Mereka adalah daging dan darah, manusia dengan hati yang bergetar setiap kali azan menyapa cakrawala. Tapi di negeri yang digerakkan oleh Partai dan diatur oleh algoritma, keimanan dianggap seperti virus yang harus dikarantina. Virus ini, yang oleh dunia disebut Islam, di Xinjiang tidak diobati dengan doa, tapi dengan kamp. Kamp pelatihan ulang.
Jangan bayangkan kamp ini seperti pesantren dengan ustaz karismatik dan ceramah tentang sabar. Tidak, ini kamp di mana jika engkau melafazkan salam, maka kau akan dilabeli sebagai ekstremis. Jika engkau menyimpan Al-Qur’an di rumahmu, maka itu adalah bukti keterlibatan dalam “ideologi berbahaya”. Kamp di mana kamu disuruh menyanyi lagu nasional setiap pagi dengan suara lantang, sambil menahan lapar dan air mata.
Menurut laporan resmi dari PBB dan Human Rights Watch, bukan dari grup WhatsApp emak-emak, lebih dari satu juta Muslim Uyghur telah ditahan dalam kamp re-edukasi yang lebih mirip penjara digital dibanding pusat pelatihan. Amnesty International menyebutnya sebagai “zona eksistensi nol”. Tidak ada hak, tidak ada suara, tidak ada doa yang diizinkan terucap tanpa izin dari partai. Bahkan niat dalam hati bisa dianggap makar.
Di setiap sudut kota di Xinjiang, kamera pengenal wajah menatap tajam seperti malaikat pencatat dosa, tapi tanpa rahmat. Pemerintah Tiongkok memanen data biometrik, sidik jari, DNA, bahkan pola berjalan seseorang. Tidak, ini bukan kisah fiksi ilmiah Netflix. Ini kenyataan hiper-modern dari negeri yang mengaku anti-penjajahan namun menjajah saudara sendiri.
Kau tidak bisa memakai hijab di tempat umum. Kau tidak boleh memelihara janggut panjang. Bahkan memberi nama “Muhammad” atau “Fatimah” kepada anakmu dianggap tindakan ekstrem. Masjid-masjid yang dulu menjadi pusat ruhani kini berubah menjadi puing, toko swalayan, atau lebih sering, kantor polisi. Jika Nabi Muhammad lahir hari ini di Xinjiang, mungkin beliau akan dianggap “penghasut subversif”.
Pemerintah Tiongkok membantah semua ini, tentu saja. Mereka mengatakan itu semua “pelatihan kerja” dan “re-edukasi damai.” Ya, damai seperti mercon meledak di telinga. Damai seperti disuruh salat menghadap patung ketua partai. Damai seperti menyiram bunga dengan bensin dan mengharapkan mawar bermekaran.
Sementara itu, dunia? Dunia sedang sibuk. Beberapa negara adidaya sibuk menonton drama Uyghur sambil makan popcorn diplomasi. Sanksi dijatuhkan dengan penuh basa-basi. Negara-negara Islam? Sebagian berbisik lirih di ruang sidang PBB, “Kami prihatin,” lalu diam kembali saat kontrak perdagangan dilayangkan ke meja. Ada yang tetap tutup mulut demi proyek kereta cepat. Ada yang takut kehilangan ekspor udang. Maka diplomasi pun berubah menjadi agama baru: agama perut, agama laba, agama “jangan ganggu kami dulu”.
Tapi tidak semua diam. Dari sudut-sudut bumi, suara-suara tak terlihat menyatu dalam satu seruan: Allahu Akbar! Suara itu tidak bisa dibungkam algoritma. Doa-doa yang naik dari tahanan Uyghur melubangi langit langit peradaban. Mereka tidak punya senjata, tapi mereka punya ayat. Mereka tidak punya negara, tapi mereka punya Tuhan.
Inilah Islam: agama yang, meski ditindas, tak pernah punah. Yang, meski dipenjara, tetap bebas dalam dada para mujahid yang senyumnya lebih tajam dari peluru. Islam adalah satu-satunya sistem di dunia yang bisa bertahan hidup meski dibenci oleh mesin, dihakimi oleh partai, dan diacuhkan oleh dunia.
Kita, yang masih bisa bersuara, yang masjidnya belum digusur, yang Al-Qur’annya belum dirampas, jangan pernah berani diam. Diam saat kebenaran diinjak adalah bentuk baru dari pengkhianatan. Diam saat Uyghur merintih, adalah kejahatan spiritual yang lebih parah dari korupsi dana bansos.
Mereka bukan hanya korban. Mereka adalah pengingat bahwa iman adalah harga yang tidak bisa ditukar dengan Yuan.
Jangan pernah anggap enteng seorang Muslim yang menangis di sujudnya. Karena air matanya bisa membelah takdir. Jika kau lihat seorang ibu Uyghur menatap langit malam dari balik jeruji sambil menggumamkan surat Al-Ikhlas, maka ketahuilah, ia sedang meruntuhkan satu-satu tembok kebohongan dunia.
Xinjiang hari ini adalah panggung sandiwara. Pemerannya adalah tirani, teknokrasi, dan ideologi yang takut pada ayat. Tapi penonton sejati, malaikat dan Rabb semesta alam, tahu siapa yang menang pada akhirnya. Dan Islam… tak akan pernah kalah.
Karena Islam bukan cerita. Islam adalah skenario langit yang tak bisa dihapus oleh pena penguasa. Bagi dunia yang pura-pura tuli, ketahuilah… suara azan tak butuh pengeras suara untuk mengguncang singgasana para penindas.*