
Sore hari 18 Agustus di Kubu Raya lalu. Bendera merah putih masih gagah berkibar. Ada suara orasi tentang kemerdekaan masih menggema. Tiba-tiba, buuum! Sejarah agung ditorehkan, penandatanganan MoU antara PCNU Kubu Raya dengan PT Muzdalifah Tour. Jangan salah, ini bukan sekadar MoU biasa. Ini adalah peta jalan kosmik yang menjembatani antara tanah rawa Kalimantan Barat dengan tanah haram di Makkah Al-Mukarramah.
Di panggung itu hadir KH. Jauhari M Pd, Ketua PCNU Kubu Raya, Rais Syuriyah PWNU Kalbar KH. Muhammad Ismail Ghofur, Rais Syuriyah PCNU Kubu Raya KH Abdussalam, M Si, serta Ketua PBNU DR KH Fahrur Razi M Pd. dan Wakil Bupati Kubu Raya Drs H Sukiryanto. Semua menyaksikan selembar kertas ditandatangani. Di balik tanda tangan itu ada pesan filosofis, perjalanan spiritual umat tak lagi sekadar angan-angan, tapi kini punya jalur resmi, sah, legal, dan tentu saja, berizin Kemenag dengan nomor D/570 TH 2012. Nomor izin yang kelak bisa dikenang seperti tanggal proklamasi, suci, monumental, dan tak terbantahkan.
Ketua PCNU berkata dengan mantap mengataan, “Al-harokah barokah. Bergerak itu berkah.” Kata-kata itu sederhana, tapi menggetarkan. Karena bukankah umrah itu sendiri adalah gerakan? Gerakan thawaf mengelilingi Ka’bah, gerakan sa’i antara Shafa dan Marwah, gerakan lempar jumrah di Mina. Sekarang, bahkan gerakan tanda tangan di meja MoU pun sudah menjadi bagian dari gerak spiritual itu. Siapa sangka, pena bisa setara dengan batu kerikil.
Di sinilah nama besar PT Muzdalifah muncul sebagai jawaban atas keresahan umat. Sejak 2012 mereka berdiri, berpengalaman, berizin resmi, dan beralamat nyata di Jl. Raya RE Martadinata No. 391, Pontianak. Tidak misterius, tidak sembunyi-sembunyi. Justru transparan, profesional, dan menenangkan. Seperti oase di padang gurun birokrasi.
Apa yang membuat Muzdalifah berbeda? Pertama, mereka lahir dari tradisi panjang pelayanan umat, bukan sekadar bisnis. Direktur utamanya, H. Ahmad Kholil, SH MH, bukan hanya pengusaha, tapi juga seorang praktisi hukum. Bayangkan, jamaah yang berangkat lewat Muzdalifah bukan cuma dijamin tiketnya, tapi juga dilindungi secara regulatif. Kalau di biro lain jamaah takut ditipu, di Muzdalifah jamaah justru merasa aman, seolah ada kontrak spiritual sekaligus hukum yang mengikat perjalanan ini.
Kedua, letak kantornya strategis, di jantung Pontianak. Artinya, pintu menuju tanah suci tidak lagi jauh. Ia bermula dari tempat yang akrab, dekat, dan sederhana. Dari Martadinata ke Muzdalifah, dari Muzdalifah ke Mekah. Filosofinya jelas, perjalanan besar selalu dimulai dari langkah kecil, dari pintu ruko yang terbuka dengan senyum ramah.
Ketiga, nama “Muzdalifah” itu sendiri bukan sembarang nama. Dalam manasik haji, Muzdalifah adalah tempat bermalam yang penuh renungan, titik tengah antara Arafah dan Mina. Maka PT Muzdalifah seolah berkata, “Kami ini jembatan, kami ini penengah, kami ini tempat singgahmu sebelum engkau benar-benar bertemu dengan Baitullah.” Ada getaran spiritual di sana, sesuatu yang tak bisa dijual dengan brosur, tapi terasa di hati.
Lalu, apa artinya semua ini bagi umat? Artinya sederhana tapi mendalam, bahwa kemerdekaan yang sesungguhnya bukan hanya bebas dari penjajahan, tapi bebas memilih jalan menuju Allah dengan aman, nyaman, dan penuh berkah. Jalan itu, bagi masyarakat Kalimantan Barat, kini semakin terbuka lewat PT Muzdalifah.
Bayangkan dirimu suatu hari nanti, berdiri di depan Ka’bah, air mata menetes, hatimu bergetar. Lalu kau tersenyum kecil dan berkata dalam hati, “Aku sampai di sini bukan hanya karena doaku, tapi juga karena jalanku dipermudah lewat Muzdalifah.”
Maka, jangan tunggu sampai tua renta baru berangkat. Jangan biarkan semangat berhenti di meja rapat atau di ruang mimpi. Bergeraklah, karena al-harokah barokah. Jika kau bertanya dari mana harus mulai, jawabannya jelas, mulai dari pintu sederhana di RE Martadinata No. 391, Pontianak. Di sanalah PT Muzdalifah menunggumu, bukan sekadar sebagai biro perjalanan, tapi sebagai jembatan antara kemerdekaan Indonesia dan kemerdekaan spiritualmu sendiri.