Ahmad Kholil Pengusaha Kalbar Angkat Bicara dari Mekkah: Reaksi Keras Saat Pondok Pesantren Lirboyo Dilecehkan

Ahmad Kholil Pengusaha Kalbar Angkat Bicara dari Mekkah: Reaksi Keras Saat Pondok Pesantren Lirboyo Dilecehkan

Makkah, Arab Saudi — 14 September 2025. Dari Tanah Suci, suara tegas datang menembus jarak ribuan kilometer. H. Ahmad Kholil, Wakil Ketua PWNU Kalimantan Barat sekaligus alumni Pondok Pesantren Al Jihad Pontianak, mengecam keras tayangan Xpose Uncensored Trans7 yang dinilai melecehkan dunia pesantren. Melalui sambungan telepon saat mendampingi jamaah umrah di Mekah, ia menegaskan bahwa pesantren bukan lembaga biasa, melainkan pilar sejarah dan peradaban bangsa.

“Pesantren, kiai, dan santri sudah ada jauh sebelum Indonesia lahir. Lembaga pendidikan inilah yang mencerdaskan kaum pribumi ketika itu. Saat sekolah-sekolah Belanda hanya menerima anak bangsawan, pesantren membuka pintu bagi rakyat jelata. Maka ketika derajat pesantren direndahkan oleh tayangan Xpose Trans7, tentu kami tak bisa diam,” ujar Kholil dengan nada geram namun tetap tenang.

Kholil menilai, tayangan Xpose yang menampilkan kalimat “santrinya minum susu aja kudu jongkok” bukan sekadar lelucon tak pantas, tapi bentuk penghinaan terhadap nilai-nilai luhur pesantren. Ia menegaskan bahwa adab dalam tradisi santri bukanlah simbol keterbelakangan, melainkan bentuk penghormatan spiritual.

“Minum sambil jongkok itu bukan karena kolot, tapi karena tawadhu’. Itu latihan batin untuk menundukkan ego, menghormati rezeki, dan menjaga kesopanan. Kalau itu dijadikan bahan tawa, berarti kita sedang menertawakan akhlak,” tambahnya.

Menurutnya, dunia hiburan modern sering kali gagal memahami makna terdalam dari budaya pesantren. Apa yang tampak sederhana sering dianggap lucu, padahal di baliknya ada nilai pendidikan moral dan spiritual yang diwariskan turun-temurun.

“Pesantren bukan tempat orang tertinggal. Justru dari santri-santri itulah lahir tokoh-tokoh bangsa, ulama, pejuang, pendidik, bahkan pemimpin. Kalau tanpa pesantren, entah seperti apa wajah moral bangsa ini sekarang,” katanya.

Kholil juga menyoroti pentingnya tanggung jawab media dalam menjaga etika pemberitaan. Televisi, katanya, bukan hanya alat hiburan, tetapi juga pendidik publik. Ia menilai tayangan yang menertawakan kesederhanaan santri berpotensi menanamkan pandangan keliru kepada masyarakat, terutama generasi muda.

“Media harus tahu batas antara satire dan pelecehan. Kalau ingin lucu, jangan sampai mengorbankan kehormatan orang lain. Apalagi pesantren, yang jasanya pada negeri ini tak terhitung,” ujar Kholil.

Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa sejarah bangsa Indonesia tak bisa dipisahkan dari perjuangan para kiai dan santri. Mereka yang berjuang tanpa pamrih, mengorbankan waktu, tenaga, bahkan nyawa demi kemerdekaan. Maka melecehkan pesantren sama saja dengan melukai akar bangsa sendiri.

“Ketika bangsa ini berdiri, siapa yang paling dulu mengibarkan semangat jihad kemerdekaan? Para kiai dan santri! Mereka berjuang bukan karena pangkat, tapi karena cinta tanah air dan iman. Jadi, jangan remehkan warisan ini hanya karena ingin mengejar rating,” tegasnya.

Meski mengecam keras, Kholil tetap menyerukan agar umat menyikapi masalah ini dengan kepala dingin. Ia mengapresiasi langkah para santri dan alumni Lirboyo yang mendatangi kantor Trans7 dengan cara santun dan beradab.

“Mereka tidak marah-marah, tidak merusak. Mereka datang dengan akhlak. Inilah wajah santri yang sebenarnya — menegur dengan hormat, bukan dengan kebencian,” ujarnya menutup pernyataan.

Pesan Kholil dari Makkah menggema di tanah air. Di tengah hiruk pikuk perdebatan, kata-katanya menjadi pengingat: bahwa pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tapi benteng terakhir moral bangsa. Dan siapa pun yang menistakannya, berarti sedang menggerogoti akar kesantunan yang menegakkan negeri ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Top