Pada mulanya adalah panggilan. “Labbaik Allahumma labbaik,” begitu katanya. Tapi ternyata untuk bisa menjawab panggilan itu, di zaman sekarang engkau perlu lebih dulu menjawab panggilan dari Kemenag, “Selamat, Anda dapat kuota tahun 2054!” Maka berbondonglah umat dengan sabar mendaftar, menabung, dan menua bersama nama yang terus naik pelan di antrean. Tapi tidak semua diciptakan untuk menunggu. Di antara lautan manusia itu, berdirilah mereka yang memilih jalan berbeda. Jalan terpisah. Jalan para Furoda.
Istilah “Furoda” berasal dari kata Arab furada (فُرَادَى) yang artinya sendirian, mandiri, tidak ikut rombongan. Sebuah istilah yang awalnya terdengar spiritual, kini menjelma menjadi paket wisata mewah. Dalam konteks haji, Furoda merujuk pada jemaah yang pergi secara independen menggunakan visa mujamalah, yaitu visa undangan langsung dari Kerajaan Arab Saudi, di luar kuota resmi pemerintah RI.
Haji Mandiri dalam Sejarah Islam
Praktik haji mandiri bukanlah barang baru. Rasulullah SAW sendiri diyakini berhaji satu kali, yaitu Haji Wada’, pada tahun 10 Hijriah. Namun sebelum itu, pada tahun 8 Hijriah setelah Fathu Makkah, banyak sahabat dan pengikut Nabi yang menunaikan haji secara mandiri tanpa ada sistem negara. Mereka hanya bermodal unta, iman, dan keyakinan bahwa jalan menuju Ka’bah akan terbuka bagi yang niatnya tulus.
Di masa kekhalifahan, umat Islam dari berbagai penjuru dunia berhaji tanpa sistem birokrasi. Tidak ada kementerian, tidak ada e-hajj, tidak ada sistem antrean. Mereka datang sebagai furoda, dalam makna sejatinya: sendirian, karena Allah.
Era Kuota dan Munculnya Furoda Modern
Segalanya berubah drastis setelah berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada 1932. Untuk mengatur jumlah jemaah dan menghindari overcapacity di Makkah dan Madinah, Saudi mulai menerapkan sistem kuota nasional. Indonesia, sebagai negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia, mendapat alokasi kuota sekitar 221.000 orang per tahun, terdiri dari kuota haji reguler (70%) dan haji khusus (30%). Tapi peminatnya jauh lebih besar. Per 2024, daftar tunggu haji reguler di Indonesia rata-rata mencapai 20 hingga 47 tahun, tergantung wilayah. Di Sulawesi Selatan misalnya, daftar tunggunya sudah menembus 47 tahun, sementara di Kalimantan Selatan sekitar 35 tahun.
Di tengah antrean super panjang inilah, visa mujamalah menjadi jalan alternatif. Visa ini diberikan langsung oleh pemerintah Arab Saudi, awalnya sebagai bentuk penghormatan diplomatik kepada tokoh-tokoh tertentu, pejabat, pengusaha besar, atau ulama. Namun sejak 1990-an, agen-agen perjalanan mulai memanfaatkan jalur ini untuk membuka paket haji non-kuota, yang kemudian populer dengan sebutan Haji Furoda.
Paket Mewah, Harga Ekstra
Dengan sistem Furoda, jemaah bisa langsung berangkat tanpa menunggu giliran. Tapi tentu, semua ada harganya. Biaya Haji Furoda saat ini berkisar antara Rp350 juta hingga Rp1 miliar per orang, tergantung fasilitas, akomodasi, dan reputasi travel. Bandingkan dengan biaya haji reguler yang disubsidi pemerintah (Biaya Perjalanan Ibadah Haji atau Bipih) sebesar Rp93,4 juta pada 2024, dan haji khusus sekitar Rp170–250 juta.
Harga Furoda yang selangit ini bukan hanya karena kenyamanan hotel bintang lima atau catering berstandar internasional, tapi karena satu hal: tanpa antrean. Dalam logika pasar bebas, waktu adalah komoditas, dan bagi sebagian orang, menunggu adalah harga yang terlalu mahal.
Antara Legal dan Ilegal
Meski sah di mata pemerintah Arab Saudi, haji Furoda berada di area abu-abu dalam regulasi Indonesia. Pemerintah RI melalui Kemenag tidak mengatur atau menjamin jemaah Furoda, karena mereka tidak melalui sistem kuota resmi. Namun sejak 2019, pemerintah mewajibkan agen penyelenggara Furoda untuk mendaftar sebagai PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah) yang terdaftar dan memiliki izin menyelenggarakan haji khusus.
Masalahnya, masih banyak agen ilegal yang menjual paket Furoda dengan iming-iming visa yang belum pasti. Pada 2022, lebih dari 46 jemaah Furoda asal Indonesia ditolak masuk Arab Saudi karena tidak memiliki visa resmi. Insiden ini mempermalukan Indonesia secara internasional dan membuat Kemenag lebih ketat dalam mengawasi penyelenggara haji non-kuota.
Kejutan 2025: Visa Dihentikan
Tahun 2025 menjadi titik balik. Pemerintah Arab Saudi, tanpa pengumuman resmi, tidak lagi mengeluarkan visa mujamalah untuk jemaah non-resmi dari Indonesia. Alasannya masih spekulatif. Beberapa menduga ini akibat penyalahgunaan visa oleh agen nakal, ada pula yang mengaitkannya dengan upaya Saudi menertibkan sistem haji secara digital, terpusat lewat platform nusk.sa yang mewajibkan semua pendaftaran melalui sistem resmi.
Ribuan calon jemaah yang sudah membayar ratusan juta rupiah pun harus pulang ke rumah. Refund tidak selalu utuh. Beberapa agen hanya mengembalikan sebagian, dan itu pun dalam tempo tak pasti. Forum Jemaah Calon Haji Furoda Indonesia mengecam kebijakan ini. Namun Kemenag tak bisa berbuat banyak, karena visa Furoda sepenuhnya kewenangan Arab Saudi, bukan Indonesia. Kemenag hanya bisa mengimbau agar masyarakat lebih berhati-hati memilih biro perjalanan dan memahami risiko haji non-kuota.
Lebih dari Sekadar Visa
Di titik ini, Furoda menjadi lebih dari sekadar jalur alternatif. Ia menjelma menjadi simbol semangat spiritual sekaligus kritik sosial. Simbol ketidaksabaran terhadap birokrasi. Simbol bahwa bahkan dalam urusan ibadah, kelas sosial tetap eksis. Ada jemaah ekonomi, ada jemaah eksekutif. Ada yang diuji dengan waktu, ada yang diuji dengan saldo rekening.
Furoda juga menjadi cermin ketimpangan. Di satu sisi, ada yang menggadaikan sawah untuk daftar haji reguler dan menunggu tiga dekade. Di sisi lain, ada yang membayar setara dua unit Alphard demi bisa selfie di depan Ka’bah tanpa antre.
Namun di luar semua kontroversi, satu hal tak bisa dipungkiri: Haji Furoda tetap sah secara syar’i. Selama visa dan prosedurnya sah menurut otoritas Saudi, dan syarat serta rukun haji dilaksanakan, maka ibadahnya diterima. Ulama tidak mempermasalahkan jalur visa, selama tidak melanggar aturan atau merugikan orang lain.
Haji Furoda mengajarkan kita bahwa di era digital ini, bahkan menuju Baitullah pun bisa dilakukan via jalur ekspres. Ia menyadarkan kita bahwa spiritualitas juga bisa punya kelas bisnis, bahwa pahala kadang perlu DP, dan bahwa keikhlasan bisa diuji lewat invoice.
Meski tahun ini para Furodawan tak jadi terbang, mereka tetap istimewa. Karena sejatinya mereka bukan jemaah biasa. Mereka adalah umat yang tidak rela ditunda-tunda dalam urusan akhirat, meski rela ditunda-tunda saat refund. Dan selama masih ada umat yang ingin menunaikan ibadah plus kenyamanan, selama visa mujamalah belum sepenuhnya dikubur, selama masih ada travel yang bisa bersumpah sambil pegang tasbih digital, Haji Furoda akan terus hidup.
Sebagai bukti, bahwa bahkan menuju rumah Allah, manusia tetap mencari pintu belakang. Karena jalan ke surga kadang berbelok ke VIP Lounge dulu.*