Dari Dehidrasi hingga Stroke Panas: Penyebab Di Balik Lonjakan Kematian Jemaah Haji
Di tengah lautan manusia yang melafazkan talbiyah, suara “Labaik Allahumma Labaik” berbaur dengan sirine ambulans. Tangisan takbir membelah terik padang pasir, di antara tenda-tenda putih yang menampung ribuan niat baik dan tubuh-tubuh renta. Hingga 1 Juni 2025, sebanyak 115 jemaah haji telah berpulang. Mereka tidak pulang ke tanah air, tapi konon ke kampung akhirat dengan visa husnul khatimah.
Suasana duka? Tentu saja. Tapi juga ada semacam ironi surgawi. Di tanah yang disebut-sebut sebagai “tempat terbaik untuk mati,” tubuh-tubuh lelah terbaring dalam plastik jenazah, bukan kasur hotel bintang lima. Sebagian wafat dalam sujud, sebagian lagi dalam antrean toilet.
Katanya, ini bukan tragedi. Ini prestasi spiritual. Setiap tahun, ribuan orang lanjut usia dipaksa merasa muda kembali di suhu 50°C, berjalan berkilo-kilo dengan jantung rapuh, ginjal yang nyaris purnatugas, dan diabetes yang cuma ditenangkan dengan kurma ajwa. Siapa butuh pemakaman mewah kalau bisa dimakamkan di Baqi’ atau Ma’la, tempat para sahabat dan istri Nabi bersemayam?
Dunia tersenyum lirih. Tiket haji terus naik, layanan premium makin menjamur, dari hotel dengan view Ka’bah hingga aplikasi pemantau detak jantung real-time, seolah nyawa manusia bisa diselamatkan oleh sinyal WiFi. Tapi statistik berbicara lebih jujur:
2023: 773 jemaah Indonesia wafat.
2024: 461 jiwa dikembalikan ke langit.
2025: Baru Juni, sudah 115 berpulang.
Tren terus menanjak. Mungkin malaikat Izrail juga naik haji setiap tahun.
Kematian di Tanah Suci bukan sekadar insiden medis. Ia adalah romansa spiritual, mitos yang dibungkus hadis dan nostalgia kampung akhirat. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang ingin mati di Madinah, maka matilah di sana…” (HR Ahmad & Tirmidzi)
Tapi kita lupa. Bahkan Umar bin Khattab pun hanya berharap. Ia tidak naik pesawat dengan kursi reclining, tidak membawa tabung oksigen sambil berharap bisa wafat syahid di jam 9 pagi, lalu dimakamkan di Raudhah sebelum Dzuhur.
Kita menjual mitos husnul khatimah dalam paket haji plus. Tapi realitanya, banyak jemaah wafat karena kelelahan, dehidrasi, stroke panas, dan jantung yang akhirnya menyerah pada tekanan spiritual dan logistik.
Maut Tak Pernah Pakai Ihram
Filsuf Yunani bilang, kematian itu absurd. Tapi umat Islam bilang, kematian adalah kehendak Allah, dan takdir tak bisa ditawar. Maka kita wajar sedih, tapi juga perlu bertanya, mengapa orang tua yang ringkih terus didorong ikut haji, meski tubuh mereka sudah lelah bahkan untuk ke warung? Apakah surga sedemikian jauh sehingga kita rela menukar kesempatan hidup dengan risiko kematian massal?
Haji bukan kejar husnul khatimah lewat shortcut. Ia ibadah untuk yang mampu. “Mampu” bukan hanya mampu finansial, tapi juga mampu secara fisik dan mental. Tapi tampaknya, selama bisa mencicil, manusia merasa mampu. Bahkan untuk urusan kematian.
Kita bangga punya jemaah haji terbanyak, terbanyak juga yang wafat. Kita bilang, itu keberkahan. Tapi apa benar? Atau kita cuma terlalu lelah menghadapi kenyataan bahwa Tanah Suci telah menjadi kota industrialisasi ibadah, di mana pahala bisa dibayar, dan maut bisa ditebak dari suhu harian?
Jemaah meninggal bukan karena kurang iman, tapi karena logistik tak manusiawi. Karena kita menganggap mati di sana selalu berarti husnul khatimah. Padahal, mungkin mereka hanya kelelahan. Mereka tidak ingin mati. Mereka ingin pulang. Tapi pulang yang lain, bukan ke rumah, tapi ke langit, karena napasnya keburu habis.
Di tanah yang mulia itu, maut datang tanpa sandiwara. Ia datang di tenda panas, di bawah seng solar panel, di antara derap kaki ribuan manusia yang mengejar lempar jumrah.
Di akhir, mungkin hanya satu pertanyaan, “Apakah mati di sana benar-benar lebih mulia? Atau kita hanya terlalu takut mati di rumah sendiri?” “Kematian tak perlu paspor. Ia tak perlu visa. Tapi rupanya, Tanah Suci tetap jadi destinasi favoritnya.”
Untuk 115 jiwa yang berpulang… Semoga damai dalam diam, di tanah yang kita yakini sebagai gerbang surga.*