Oleh Rosadi Jamani
Langit Daejeon menggantung muram di hari perpisahan itu. Awan-awan seperti turut berduka. Seperti menyimpan rintik yang belum jatuh. Lalu, menanti isyarat tangis dari bumi. Di sebuah restoran mewah, lampu gantung kristal memantulkan cahaya pucat di atas meja bundar yang penuh wajah sendu, dan di tengahnya duduk Megawati Hangestri Pertiwi. Matanya bengkak tak mampu lagi menyembunyikan duka yang meranggas di rongga dadanya.
Dua musim ia menari di tanah asing. Dua tahun ia menulis puisi di udara, lewat lompatan-lompatan yang merobek langit Korea, smash-smash yang bukan hanya menghantam bola, tapi prasangka. Ia datang sebagai asing, sebagai gadis berhijab dari negeri jauh yang belum pernah dikenali dalam peta voli dunia. Tapi, ia tak datang membawa gengsi. Ia datang membawa iman, cita, dan luka yang siap ditukar dengan sejarah.
Dulu, ia diragukan. Dicibir. Dilecehkan. Siapa Mega? Dari mana Jember itu? Apa artinya jilbab dalam liga profesional? Tapi waktu berjalan, dan Mega menjawab bukan dengan kata-kata. Ia menjawab dengan ribuan peluh, dengan tubuh yang jatuh bangun di setiap latihan, dengan 1018 angka yang ia hadiahkan untuk tim yang kini ia panggil keluarga. Ia menjawab dengan diam, dan diamnya menyayat. Ia menjawab dengan tawa selepas kemenangan, dan tangis tertahan saat kalah di final. Ia menjawab segalanya dengan cinta.
Kini, cinta itu harus dipisah. Seperti sayap kanan dan kiri yang terpaksa dicerabut dari satu burung. Mega telah memutuskan pulang. Tidak memperpanjang kontrak. Tidak lagi mengenakan seragam merah dengan nama Red Sparks di punggungnya. Tidak lagi satu tim dengan Vanja Bukilic, yang dulu datang sebagai asing dan pergi sebagai saudari. Tidak lagi mendengar teriakan “Fight!” dari sang kapten Yeom Hye Seon. Tidak lagi dipeluk Park Eun Jin selepas pertandingan melelahkan. Tidak lagi dicurhatin oleh Nohran. Begitu juga Jung Hoyoung, Pyo Seungju, Park Hye Min, Jeon Dabin, dll. Mereka sudah menjadi keluarga besar.
Saat makan malam perpisahan itu, tidak ada yang bicara. Hanya sendok yang menyentuh piring, dan isak yang perlahan pecah seperti kaca dilempar ke lantai marmer. Pelatih Ko Hee Jin, lelaki keras berwajah batu, akhirnya tunduk. Matanya basah. Jemarinya gemetar ketika memegang tangan Mega. Ia ingin bicara, tapi air matanya lebih dulu menyela.
Mega pun menangis. Tapi tangisnya bukan sekadar sedih. Itu tangis perempuannya yang telah menjelma pejuang, tangis dari jiwa yang telah memberi segalanya namun tetap harus berpisah. Tangis yang tak ada bahasa untuk menjelaskannya. Hanya bisa dirasakan lewat nyeri di dada.
Saat pagi menjelang, di Bandara Incheon, deret langkah para pemain Red Sparks mengiringi Mega menuju gerbang kepergian. Tidak ada glamor. Hanya pelukan-pelukan yang tak ingin dilepas, dan pandang-pandangan yang seolah berkata, “Jangan pergi…”
Ko Hee Jin memeluk Mega untuk terakhir kali. Ia berbisik, “Kau adalah cahaya dalam sejarah kami… dan sejarah tidak bisa dihapus.”
Mega menunduk, menggigit bibir. Ia melambaikan tangan, langkahnya menjauh, tapi seluruh hatinya tertinggal di belakang.
Pesawat pun lepas landas, meninggalkan jejak di langit Korea dan jejak lebih dalam lagi di hati ribuan penggemar. Daejeon kini kehilangan seorang putri angkatnya. Red Sparks kehilangan jantungnya. Dunia kehilangan satu penari langit yang telah mengajarkan, bahwa tekad bisa menembus batas negara, bahwa cinta pada permainan bisa mengalahkan apapun, termasuk gaji 2,4 miliar yang kalah jauh dari pemain asing lain.
Tapi Mega tidak bermain untuk uang. Ia bermain untuk jiwa. Jiwa itu kini kembali ke tanah ibu pertiwi, menjadi legenda.
Megawati Hangestri Pertiwi,
Namamu abadi di udara Korea,
Hatimu, selamanya tinggal di Red Sparks.