Dari Peluh ke Kemuliaan
Langit Jedah menyambut Kholil muda dengan bara yang menyala. Suhu memagut kulit hingga 55 derajat, seolah neraka kecil sedang bernafas di atas bumi. Namun di balik panas yang membakar, mata Kholil justru bersinar. Ia tak bergeming oleh terik; pandangannya menembus waktu, menatap cahaya keemasan yang mengalir dari bangunan kota suci itu, Jedah, pintu gerbang menuju Makkah al-Mukarramah.
Langkah awal dimulai dari hal-hal sepele namun sakral. Visa pelajar telah diproses, namun hatinya masih menggantung di udara. Ia anak rantau tanpa keluarga, tak tahu ke mana harus melangkah selanjutnya. Di negeri asing, di tanah yang dipuji para nabi, ia sebatang kara. Tapi takdir telah menenun benangnya sendiri, seorang dermawan bernama Haji Nawir datang menjemputnya, mengajaknya menunaikan umrah.

Saat kakinya menapaki tanah suci Makkah, ketika matanya menangkap bayang menara Masjidil Haram yang menjulang agung, Kholil terdiam. Dunia seolah berhenti berputar. Gemuruh batinnya tumpah dalam air mata. “Ya Allah,” doanya lirih di depan Ka’bah, “panjangkanlah umurku di sini. Izinkan aku berhaji setiap tahun.” Ia tak meminta kekayaan, tak memohon kenyamanan dunia. Hanya kerinduan untuk berlama-lama di rumah-Mu.
Setahun lamanya ia menekuni ilmu dan zikir. Tak bekerja, hanya belajar. Lalu, kehidupan membawanya ke lorong-lorong pengabdian. Ia bertemu orang Indonesia asal Bondowoso yang mengajaknya bekerja membersihkan mobil. Sekilas kecil, tapi dari sanalah hidupnya mulai berputar. Ia belajar mengemudi, cepat tanggap, tak gentar. Dalam tiga bulan, ia sudah mahir menyetir hingga ke Makkah. Ia pun buat SIM dan lulus.

Ia berpindah-pindah tempat tinggal, menyapu, menjaga anak-anak di madrasah, lalu menjadi sopir pribadi seorang bos. Dalam sebulan, jalanan Makkah sudah ia hafal bagai punggung tangannya. Gaji pertamanya sebagai sopir: 1.200 riyal. Uang pertama dari peluh dan doa.
Pergaulannya meluas. Di Jedah, ia bertemu jaringan TKI dan bahkan staf kedutaan. Jiwa dagangnya bangkit. Ia mulai merintis bisnis kecil-kecilan, sambil terus menjadi sopir pribadi. Mobil bisa ia bawa pulang. Umurnya baru 17 tahun ketika ia harus memperpanjang Iqamah (IC) seharga 3.000 Riyal. Ia bingung. Dari mana uang sebesar itu?
Saat itulah, takdir kembali mengetuk dalam bentuk rasa. Kholil Bertemu dengan seorang tenaga kerja Indonesia. Dengan memberanikan diri, Kholil meminjam uang darinya dan berhasil. Iqamah diperpanjang, dan langkah hidupnya pun kembali berderap.

Suatu hari, kawannya dari Pontianak mengajak Kholil melamar sebagai staf haji di Konsulat RI. Ia menaruh harap besar. Namun harapan itu sejenak runtuh saat lamaran dinyatakan tidak lulus. Hatinya guncang. Namun semesta tak ingin menutup pintu begitu saja. Ia diminta menemui bagian personalia. Di sana ia bercerita jujur tentang umur yang harus “dituakan” di paspor agar bisa mendapat visa. Kejujurannya menyentuh hati. Ia bahkan dites bahasa Melayu Pontianak, karena pada saat itu belum ada staf haji yang mempunyai kemampuan berbahasa melayu dan memahami karakter jamaah haji asal Kalimantan Barat. Hasilnya, ia diterima, dengan status percobaan.
Lalu dimulailah babak baru. Ia dilatih bersama petugas dari 27 provinsi. Tugas pertamanya adalah di bandara, menjadi penerjemah dan pembimbing jemaah. Kinerjanya memukau. Ia pun resmi diangkat sebagai pegawai tetap. Dua tahun mengabdi, ia minta pindah ke bagian administrasi, mengelola paspor dan dokumen jemaah.
Suatu hari ia bertemu seorang Iran yang memberinya cincin batu fairuz. Batu biru dari Persia ini membuat otaknya berputar. Ia mulai membeli batu fairuz dalam jumlah besar, dan menjualnya ke jemaah haji. Keuntungan melebihi gajinya, bahkan ia lupa mengambil gaji beberapa bulan.
Beberapa waktu kemudian Kholil menemukan cinta pertamanya, pilihannya jatuh kepada gadis asal Jawa Timur dan akhirnya dalam waktu singkat mereka menikah dan dikaruniai seorang anak. Sayangnya pernikahan mereka tidak berlangsung lama dikarenakan kesibukan Kholil mencari nafkah dan adanya perbedaan pendapat diantara mereka. Akhirnya mereka berpisah secara baik-baik.
Kholil juga belajar membimbing jemaah haji. Ia jadi ketua pembimbing. Ia bahkan mengajarkan para kiyai dan ustadz tentang sistem Temus (Tenaga Musiman) dan Mursyid. Ia mengerti medan, memahami manajemen, dan menyatu dengan ruh ibadah.
Musim haji tiba. Ia ditugaskan di bagian “seksi kematian”. Setiap hari bergulat dengan duka. Bersama 15 anak buahnya, ia mengurus jenazah jemaah yang wafat karena dehidrasi. Tubuh-tubuh lelah yang tak kuat menahan panas, ruh-ruh suci yang kembali ke langit. Pernah ada kejadian aneh, ia harus mengangkat jenazah jamaah haji yang berbadan besar dan gemuk, secara logika untuk mengangkat jenazah jamaah tersebut harus menggunakan tenaga empat orang. Tapi alangkah terkejutnya dia dan anak buahnya begitu diangkat ternyata jenazah tersebut sangat ringan dan bisa diangkat dengan dua tenaga saja.
Dalam sebuah tugas ke Muzdalifah, ia mengendarai motor, ngebut menembus debu. Nyaris tertabrak bus. Ia jatuh, tangannya luka. Tapi ia tetap lanjut bertugas. Mencari jemaah yang tersesat di tengah keramaian. Banyak yang tua renta, menangis, hilang arah. Kholil mengantarkan mereka pulang ke tenda dengan hati, bukan hanya tenaga.
Di sela-sela tugas, ia terus berjualan batu cincin. Untungnya melampaui gaji tiga bulan. Setelah musim haji, jemaah biasanya transit di Jedah sebelum pulang. Ia pun menjual kurma, laris manis. Keuntungan harian setara gaji sebulan. Ia bahkan menyewa mobil untuk menjajakan dagangannya.
Gaji yang tak diambilnya membuatnya berpikir untuk memberangkatkan ibunya untuk umrah. Ia urus semuanya. Lewat H Sabhan A Rasyid, ia meminta bantuan agar membawa ibunya melaksanakan umrah. Semua biaya menjadi tanggungannya. Karena pada saat itu belum ada alat komunikasi seperti handphone sehingga tidak ada komunikasi antara dia dan ibunya. Hingga satu hari, tanpa sengaja ia bertemu sosok yang tak dikenalnya. Seorang wanita tua yang sudah melakukan sa’i, dan sedang bertanya kepada rekannya yang kebetulan berada disampingnya tak sengaja dia mendengar percakapan mereka. Ibu itu bertanya dan sedang mencari-cari anaknya yang bernama Kholil. Mendengar namanya disebut ibu itu, diapun heran dan secara seksama melihat wajah ibu tersebut. Alangkah kagetnya dia ternyata ibunya. Tujuh tahun tak bersua, pergi ke Saudi ketika masih remaja, hingga tak saling kenal wajah. Namun darah dan hati tak bisa dibohongi. Pertemuan itu membelah waktu. Ia menangis, memeluk ibunya dalam tangis panjang. Tujuh bulan kemudian, ibunya ia hajikan.
Tahun berikutnya, ia dipercaya di bagian transportasi. Mengantar jemaah ke Arafah. Seperti biasa, ia tak pernah kehilangan akal. Ia bawa dagangan, berjualan sepanjang perjalanan. Bisnis makin besar, keuntungan makin mengalir.

Namun di puncak kejayaan kecilnya, kabar duka tiba. Ayahandanya wafat. Kholil terpukul. Ia tak sempat pulang, tak sempat memeluk jasad sang ayah. Namun ia bersyukur, setidaknya ibunya telah berhaji dengan tangannya sendiri.
Tahun keempat, cinta datang mengetuk. Sang ibu menjodohkannya dengan seorang perempuan, masih kerabat, lebih tua beberapa tahun. Seminggu berkenalan, dua hari kemudian menikah. Tak ada pesta. Tak ada janji berlebihan. Hanya kesungguhan. Keunikan terjadi pada malam pertama, setelah diamati wajah istrinya dia teringat sosok wajah yang pernah mengajarinya mengaji. Teryata istrinya adalah guru ngaji ketika dia masih kecil. Kholil kaget dan istrinya juga kaget. Itulah rahasia Allah, jodoh, maut, rezeki hanya Allah yang tahu. Dua hari usai menikah, ia kembali bekerja. Hidup harus terus berputar.
Dengan uang yang mulai terkumpul, ia titipkan kepada ibunya untuk membeli tanah di Sumur Bor, Pontianak. Satu per satu tanah dibelinya. Lalu ia berhenti dari konsulat. Berhenti bukan karena gagal, tapi karena siap membuka babak baru.
Setahun menganggur, tapi koneksi membawanya kembali ke lingkaran kerja. Di bandara, ia diterima di bagian penimbangan. Bila jemaah kelebihan bagasi, ia bisa “membantu” dengan konsekuensi denda yang telah diatur. Dalam sehari, ia bisa mengantongi 6.000 hingga 7.000 Riyal. Mobilnya berganti-ganti. Hidupnya seperti cerita sinetron. Dari jalanan, kini ia bergelimang harta.
Merasa uang yang dikumpulkan cukup besar, ia bersama istrinya memutuskan untuk pulang ke tanah air. Pikirannya, untuk bisnis di tanah air. ( bersambung)