Literasi dalam Islam: Jejak Historis dan Relevansinya di Era Modern

Literasi dalam Islam: Jejak Historis dan Relevansinya di Era Modern

Literasi—yakni kemampuan membaca dan menulis—bukan sekadar keterampilan dasar, melainkan fondasi utama dalam membangun peradaban. Dalam ajaran Islam, literasi bahkan memiliki dimensi spiritual yang mendalam, karena aktivitas membaca dan menulis tak lepas dari perintah ilahi.

Menulis memiliki tempat istimewa dalam sejarah Islam. Al-Qalam (pena) disebut dalam Al-Qur’an sebagai simbol penting ilmu pengetahuan. Bahkan menurut sejumlah riwayat, pena merupakan salah satu makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah SWT. Meski terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai makhluk pertama—ada yang mengatakan air, ada pula yang menyebut ‘Arsy—banyak yang menguatkan bahwa pena termasuk ciptaan awal. Hal ini menunjukkan betapa tinggi nilai tulisan dalam Islam, sebab pena adalah sarana utama untuk mencatat ilmu dan wahyu.

Demikian pula dengan membaca. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca: “Iqra’ bismi rabbikalladzī khalaq” (Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan) [QS. Al-‘Alaq: 1]. Ayat ini bukan hanya permulaan kenabian, tetapi juga titik awal kebangkitan tradisi ilmu di tengah masyarakat yang sebelumnya minim akses terhadap literasi.

Bagaimana kemudian peradaban Islam mengembangkan budaya baca-tulis dan menyebarkannya ke seluruh dunia? Mari kita telusuri perjalanan historisnya.

 

Jejak Historis Literasi dalam Peradaban Islam

1. Masa Awal: Membangun Kesadaran Literasi

Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab umumnya buta huruf. Kegiatan tulis-menulis terbatas di kalangan pedagang atau penyair. Namun, dakwah Islam membawa perubahan besar. Nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai seorang ummi (tidak menulis atau membaca), justru sangat mendorong pengembangan ilmu. Salah satu contoh konkret adalah peristiwa setelah Perang Badar: para tawanan Quraisy yang bisa mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh anak Muslim akan dibebaskan. Kebijakan ini memperlihatkan komitmen Rasulullah terhadap literasi sejak awal dakwah.

 

2. Era Keemasan: Menjadikan Ilmu sebagai Tulang Punggung Peradaban

Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Harun al-Rasyid dan Al-Ma’mun, pusat ilmu pengetahuan berkembang pesat. Baitul Hikmah di Baghdad menjadi episentrum penerjemahan dan pengembangan ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban. Di tempat inilah para ilmuwan Muslim menerjemahkan karya-karya dari Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab, sekaligus menuliskan gagasan-gagasan orisinal mereka.

Ilmuwan seperti Al-Khawarizmi (perintis aljabar), Ibnu Sina (penulis Al-Qanun fi al-Tibb), dan Al-Farabi menunjukkan bahwa budaya menulis bukan hanya diwariskan, tetapi dikembangkan menjadi kekuatan intelektual.

Adopsi teknologi kertas dari Cina pada abad ke-8 turut mempercepat produksi buku. Perpustakaan besar seperti Darul Hikmah di Kairo dan perpustakaan di Cordoba menampung ratusan ribu manuskrip. Pada masa ini pula penulisan hadis, tafsir, dan fiqh disusun secara sistematis dengan metode ilmiah seperti isnad, untuk menjaga keaslian teks.

 

3. Penyebaran ke Barat: Dari Andalusia Menuju Renaisans

Ketika Eropa mengalami masa kegelapan, dunia Islam justru menjadi pelita ilmu pengetahuan. Universitas seperti Al-Qarawiyyin di Maroko (didirikan pada 859 M) dan Cordoba di Spanyol menjadi magnet bagi pelajar dari berbagai penjuru. Karya-karya tokoh seperti Ibnu Rusyd (Averroes) dan Al-Kindi diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi rujukan utama bagi ilmuwan Eropa. Gerakan penerjemahan besar-besaran di Toledo menjadi jembatan antara dunia Islam dan kebangkitan intelektual Eropa, atau yang dikenal sebagai Renaisans.

 

Kontribusi Islam terhadap Dunia Literasi

Beberapa kontribusi besar Islam terhadap literasi global meliputi:

Pengembangan Bahasa Arab sebagai Bahasa Ilmu: Struktur dan kosa kata Arab diperkaya untuk mendokumentasikan ilmu filsafat, matematika, kedokteran, dan astronomi.

Kaligrafi sebagai Wujud Ekspresi Ilmiah dan Spiritual: Penulisan yang estetis menjadi cermin penghormatan terhadap ilmu dan wahyu.

Karya-Karya Monumental:

– Al-Jabr (Al-Khawarizmi) menjadi fondasi matematika modern.

– Al-Muqaddimah (Ibnu Khaldun) meletakkan dasar pemikiran sosiologis dan historiografis.

 

Tantangan dan Harapan Literasi Muslim Masa Kini

Setelah kejatuhan kekhalifahan dan masuknya era kolonialisme, banyak negara Muslim mengalami kemunduran dalam bidang pendidikan dan literasi. Menurut data UNESCO (2021), angka buta huruf masih tinggi di sejumlah negara mayoritas Muslim, terutama di kalangan perempuan.

Meski demikian, kebangkitan literasi tengah tumbuh. Beberapa inisiatif yang patut diapresiasi antara lain:

– Gerakan Literasi Komunitas, seperti Reading Marathon di berbagai kota Indonesia.

– Digitalisasi Naskah Kuno, oleh lembaga seperti Qatar Digital Library yang membuka akses ke ribuan manuskrip langka.

– Modernisasi Kurikulum Pesantren dan Madrasah, yang kini menggabungkan pendidikan agama dan keterampilan literasi kritis.

 

Literasi sebagai Ibadah dan Warisan

Islam telah menorehkan jejak luar biasa dalam sejarah literasi dunia. Dari perintah “Iqra’” hingga lahirnya peradaban ilmu, membaca dan menulis tidak hanya menjadi sarana pencapaian duniawi, melainkan juga bagian dari ibadah. Kini, tugas generasi Muslim adalah melanjutkan warisan tersebut: menghidupkan budaya baca, menulis dengan niat mulia, dan menjadi pelita ilmu di tengah tantangan zaman digital.

Sebagaimana wasiat Ali bin Abi Thalib: “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Maka, mari kita lanjutkan tradisi itu—dengan pena, dengan kata, dan dengan semangat membangun peradaban.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Top