Krisis Moral di Balik Seremonial Hari Pendidikan Nasional: Solusi Pendidikan Islam

Hari Pendidikan Nasional dalam Perspektif Islam

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa kita mendadak alim. Spanduk bertebaran, “Selamat Hari Pendidikan Nasional!” lengkap dengan foto pejabat yang entah siapa namanya, pakai baju dinas plus senyum pakai Photoshop. Anak-anak sekolah berjajar upacara, para guru berdiri gagah seperti sedang syuting iklan susu, dan para orang tua bangga, walau di rumah anaknya lebih akrab dengan TikTok daripada kitab pelajaran.

Namun, di balik gegap gempita Hari Pendidikan Nasional, ada satu kenyataan pahit yang lebih pahit dari kopi tubruk tanpa gula: Krisis Moral Nasional.

Moral Remaja: Dari Tawuran ke TikTok Challenge

Indonesia saat ini bukan sedang mengalami krisis ekonomi. Bukan pula krisis energi. Tapi krisis yang lebih dahsyat: krisis moral. Kalau dulu anak-anak bercita-cita jadi dokter, guru, atau presiden (yang rajin belajar dan hormat sama orang tua), sekarang ada yang bercita-cita jadi seleb viral karena makan sabun di TikTok.

Menurut data UNICEF 2016, kekerasan antar remaja di Indonesia mencapai 50%. Itu artinya, kalau kamu punya dua teman remaja, salah satunya kemungkinan sudah pernah digampar, atau malah hobi menggampar. Tahun 2021, indeks karakter siswa turun. Mungkin karena karakter itu sudah dianggap “jadul” dan tidak laku di pasaran.

Kenapa bisa begini? Karena sekarang, karakter dianggap kalah keren dibanding “konten”. Anak baik dianggap membosankan, sementara anak nakal dianggap edgy. Tawuran? Cuma ajang unjuk eksistensi. Pakai seragam sekolah, bawa gir motor, lalu bikin live Instagram. Sungguh, Indonesia memang kreatif. Bahkan dalam urusan kriminalitas.

Teknologi: Pintu Surga dan Neraka di Saku Celana

Zaman dulu, kalau anak pengin nakal, paling banter nyontek atau bolos. Tapi sekarang, dengan satu sentuhan di layar HP, anak bisa belajar merakit bom rakitan, ikut challenge berbahaya, atau nonton konten “dewasa” yang bahkan kucing pun malu menontonnya.

Teknologi ini luar biasa. Bisa jadi ladang pahala, bisa juga ladang dosa. Tergantung siapa yang pegang. Sayangnya, banyak yang megang HP lebih erat daripada megang Al-Qur’an. HP dibawa ke kamar mandi, tidur pun dipeluk. Tapi Al-Qur’an? Ditaruh di lemari, dibuka hanya kalau ada lomba Musabaqah Tilawatil Quran atau mendadak insaf saat malam Jumat.

Keluarga: Tempat Tumbuhnya Cinta… dan Trauma

Dulu, keluarga adalah tempat paling aman, hangat, penuh cinta. Sekarang? Banyak keluarga jadi semacam startup gagal. Ayah sibuk kerja (atau sibuk selingkuh), ibu sibuk arisan (atau rebahan), anak dibiarkan diasuh oleh YouTube Kids dan sinetron. Pendidikan karakter? Halah, siapa sempat!

Orang tua kadang lebih takut anaknya nggak ranking, daripada anaknya kurang ajar. Yang penting nilai bagus, soal akhlak nanti bisa menyusul. Padahal, di dunia nyata, IPK tinggi tak menjamin masuk surga. Tapi akhlak mulia, meski tak punya ijazah, bisa jadi tiket VIP ke jannah.

Sekolah: Tempat Belajar Ilmu… dan Drama

Sekolah kita kadang seperti sinetron. Ada drama antar guru, antar murid, bahkan antar wali murid. Pendidikan karakter sering dijadikan slogan di dinding, tapi tidak pernah dihidupkan dalam praktik. Anak diminta jujur, tapi lihat gurunya nyontek jawaban saat ujian P3K. Anak diminta disiplin, tapi upacara saja sering dimulai telat karena kepala sekolah lupa bangun.

Pendidikan karakter di sekolah kadang seperti wifi gratis — ada, tapi lemah sinyalnya.

Nah, Terus Solusinya Apa? Jawabannya: Pendidikan Islam

Pendidikan Islam bukan sekadar pelajaran Agama jam ke-5 hari Jumat. Bukan pula hafalan pasal-pasal fiqih yang bikin ngantuk. Pendidikan Islam adalah sistem hidup, dari bangun tidur sampai tidur lagi, dari masuk kamar mandi sampai menikah (dan poligami… ups, kita skip dulu yang itu).

Dalam Islam, pendidikan bukan cuma “transfer knowledge” tapi tazkiyatun nafs, penyucian jiwa. Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah mencetak manusia yang kenal Allah, tahu tujuan hidup, dan tidak gampang viral karena hal bego.

 

1. Tauhid sebagai Pondasi Moral

Anak-anak zaman now bisa menghafal nama-nama idol Korea lebih cepat daripada Asmaul Husna. Ini menunjukkan bahwa hati mereka kosong dari Tauhid. Kalau anak tahu bahwa Allah Maha Melihat, mungkin dia akan mikir dua kali sebelum upload video prank yang menyiksa orang tua demi like dan share.

Tauhid bukan cuma ajaran keimanan, tapi juga alat deteksi akhlak. Orang yang paham Tauhid sejati tidak akan menyebar hoaks, korupsi, atau ikut-ikutan tren joget bodoh sambil pakai seragam sekolah.

 

2. Akhlaq: Lebih Penting dari Ranking

Nabi Muhammad SAW diutus bukan bawa kurikulum Cambridge, tapi untuk menyempurnakan akhlak. Maka kalau sekolah Islam hari ini lebih bangga anaknya lulus TOEFL daripada lulus dari sifat sombong, mungkin ada yang salah dalam prioritasnya.

Pendidikan Islam mengajarkan akhlak sejak dini: menghormati guru, menyayangi teman, bertanggung jawab, jujur, sabar. Kalau ini dijadikan pilar, mungkin kita tak butuh ribuan pasal UU ITE untuk mengatur manusia yang sudah punya hati nurani.

 

3. Adab Dulu, Ilmu Kemudian

Dalam Islam, adab didahulukan daripada ilmu. Imam Malik pernah memarahi muridnya karena tidak sopan, meski pintar. Sekarang? Asal anak bisa coding, akhlaknya kayak binatang pun masih dipuja.

Coba terapkan kembali sistem adab sebelum ilmu. Kalau anak belum bisa sopan, jangan dulu kasih dia laptop. Ajarkan dia cara bicara yang santun sebelum kasih dia akun media sosial. Ajarkan dia menunduk ketika lewat di depan orang tua, sebelum ajarkan bagaimana bikin konten viral.

Sekolah Islam: Jangan Cuma Ganti Nama Jadi “Al”

Banyak sekolah Islam sekarang cuma mengganti nama. Dari “Sekolah Nasional” jadi “Sekolah Islam Al-Multazam Internasional Qurrotul ‘Ain Plus Boarding Global Excellence in Faith and Future Vision 5.0”. Tapi isinya? Tetap saja.

Guru masih pakai metode ceramah setengah mati, murid masih nyontek, dan toilet tetap bau. Pendidikan Islam bukan soal nama Arab atau seragam syar’i. Tapi soal sistem, keteladanan, dan pembiasaan nilai-nilai agama.

Kurikulum: Bukan Tambah Mapel, Tapi Tambah Makna

Kita terlalu sibuk menambah pelajaran, tapi lupa menambah pengertian. Anak diajari 16 mata pelajaran, tapi satu pun tak menyentuh jiwanya. Padahal Islam mengajarkan pendekatan ruhani. Belajar itu bukan cuma soal kognitif, tapi hati.

Maka, penting menyisipkan ruh ke dalam pelajaran. Matematika bisa diajarkan dengan nilai amanah dan jujur. Biologi bisa diajarkan dengan rasa takjub pada ciptaan Allah. Sejarah bisa diajarkan untuk memupuk rasa cinta tanah air dan kesadaran akan tanggung jawab sebagai khalifah.

Orang Tua, Jadilah Ustaz Pertama di Rumah

Pendidikan Islam dimulai dari rumah. Rasul bersabda, “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah…” sayangnya, kadang fitrahnya hilang karena orang tuanya lebih percaya Deddy Corbuzier dari kitab Riyadhus Shalihin.

Orang tua harus jadi teladan, bukan cuma penyedia pulsa. Kalau ingin anaknya shalat, maka shalatlah lebih dulu. Kalau ingin anaknya jujur, maka jujurlah lebih dulu , termasuk saat sedang mengisi LHKPN.

Media dan Internet: Dakwah Jangan Kalah Keren dari Konten Ghibah

Kita tak bisa melawan tsunami digital dengan brosur masjid. Harus ada konten Islam yang keren, lucu, dan menyentuh, seperti artikel ini (ehm).

Para da’i harus melek teknologi. Ustaz harus belajar algoritma YouTube, bukan cuma tafsir klasik. Ustazah harus bisa bikin podcast, bukan cuma ceramah di pengajian ibu-ibu RT.

Kalau Indonesia ingin lepas dari krisis moral, maka Hari Pendidikan Nasional tak boleh cuma jadi ajang seremonial. Pendidikan harus dibumikan, bukan cuma dikampanyekan. Dan pendidikan Islam adalah solusi — bukan sebagai pelajaran tambahan, tapi sebagai fondasi sistem.

Mari kita ubah paradigma. Jangan bangga anak bisa Bahasa Inggris, tapi lupa Bahasa Surga. Jangan puas dengan akreditasi A, tapi akhlaknya D. Jangan bangga punya sekolah megah, tapi kosong ruh. Karena pendidikan sejati bukan yang menghasilkan manusia pintar, tapi yang menghasilkan manusia yang takut pada Tuhan dan cinta sesama.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga tahun depan, spanduknya tidak cuma tambah panjang, tapi juga akhlaknya tambah baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Top