KISAH INDIA-PAKISTAN DALAM KACAMATA ISLAM
Seandainya India dan Pakistan itu manusia biasa, mereka sudah lama kena tegur oleh Pak RT, dinas sosial, dan ustaz keliling. Bayangkan dua orang tetangga yang sejak rumah dibangun, sudah saling siram got, rebutan pagar, bahkan saling ancam pakai petasan. Tapi petasan mereka ini bukan petasan Cap Naga yang dibakar anak-anak saat lebaran. Ini rudal balistik dengan hulu ledak nuklir.
Mereka bukan tetangga biasa. Mereka negara. Dua negara besar. Dua negeri penuh potensi, budaya, umat Islam, dan sejarah panjang. Tapi sayangnya, mereka seperti dua sepupu yang doyan rebutan warisan dari nenek moyang yang sudah wafat dengan surat wasiat tak jelas. Warisan itu bernama: Kashmir.
Awal Mula: Surat Wasiat Berdarah
Saat Inggris cabut dari anak benua India tahun 1947, mereka melakukan hal yang sangat tidak islami: membagi wilayah dengan tidak adil. Seperti hakim warisan yang ngantuk saat sidang, Inggris membuat dua negara: India dan Pakistan. Tapi satu hal yang mereka tinggalkan begitu saja adalah Kashmir. Wilayah mayoritas Muslim yang secara ajaib malah diberikan ke India, karena rajanya saat itu adalah Hindu. Maka terjadilah migrasi besar-besaran, kekerasan sektarian, dan pembantaian berjilid-jilid. Kurang lebih 2 juta orang tewas. Ini bukan angka main-main. Ini tragedi.
Bayangkan, kaum Muslimin dari Punjab dan Kashmir mengungsi ke Pakistan, kaum Hindu dan Sikh dari arah barat lari ke India, dan di tengah-tengahnya… darah tumpah. Bukan karena agama itu buruk, tapi karena manusia yang menjual agama demi kekuasaan.
Padahal dalam Islam, konflik seperti ini seharusnya bisa dicegah. Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya dizalimi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tapi siapa yang peduli hadits ketika politik lebih menggoda?
Kashmir: Rebutan Tak Pernah Usai
Setelah India dan Pakistan lahir, keduanya langsung rebutan Kashmir. Layaknya dua abang yang rebutan warisan sawah ibu, keduanya tak mau mengalah. Maka pecahlah Perang India-Pakistan pertama (1947–1948). Hasilnya? Kashmir dibagi dua oleh Garis Kontrol (Line of Control). Separuh ke India, separuh ke Pakistan. Dan sejak itu, hubungan keduanya seperti ayam dan kucing. Salah satu bersin, yang lain marah. Yang satu bikin pernyataan, yang lain langsung beli tank.
Tentu saja, konflik ini bukan hanya soal wilayah. Ini soal harga diri, gengsi nasional, dan politik domestik. Dan umat Islam di Kashmir? Mereka cuma jadi korban. Sejak 1947 sampai 2025, umat Islam di Kashmir hidup seperti dalam penjara terbuka. Diperiksa, diawasi, ditangkap, bahkan ditembak tanpa pengadilan. Di sisi lain, kelompok militan yang mengaku membela Islam justru kadang menambah masalah, dengan membawa senjata dan bom ke pasar.
Kita perlu jujur sebagai umat Islam. Apakah kita sudah cukup peduli dengan saudara-saudara kita di Kashmir? Atau kita lebih sibuk memperdebatkan Lisa Marlina, ijazah presiden, dan promo Paylater Ramadhan?
April 2025: Sinetron Berdarah Kembali Tayang
Tanggal 22 April 2025, dunia kembali menoleh ke Kashmir. Sebuah serangan teroris menewaskan 26 wisatawan di Pahalgam, sebuah tempat indah di Kashmir India. India, tanpa menunggu penyelidikan, langsung menunjuk Pakistan: “Ini kerjaanmu!” Mereka seperti tetangga yang kehilangan motor, lalu tanpa bukti menuduh tetangga sebelah karena dulu pernah utang gas.
Pakistan pun membantah: “Demi Allah, bukan kami. Kami juga pengin damai.” Tapi India sudah terlanjur emosi. Mereka mencabut Perjanjian Air Indus — kesepakatan vital tentang pembagian air sungai yang mengalir dari India ke Pakistan. Bayangkan kalau tetanggamu tiba-tiba menutup keran air PAM ke rumahmu. Itu bukan sekadar unfriend. Itu sudah unfollow, block, dan lapor polisi sekaligus.
Pakistan langsung naik pitam. Menteri Pertahanan mereka bilang, “Kalau India terus begini, perang total tinggal hitungan hari.” Tentu saja pernyataan ini langsung bikin pasar saham turun, pelaku UMKM ketar-ketir, dan warga Kashmir tambah cemas. Sementara itu, para ulama dan cendekiawan Islam diam-diam menangis dalam doa: “Ya Allah, lindungi kaum Muslimin dari perang saudara.”
Apa Kata Islam tentang Bertetangga?
Mari kita berhenti sejenak, mengambil wudhu, dan buka kitab. Apa kata Islam soal bertetangga? Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan dalam satu hadits yang luar biasa menyentuh, Nabi bersabda:
“Jibril terus-menerus mewasiatkan aku untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai aku menyangka bahwa tetangga akan diberi hak waris.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bayangkan! Tetangga itu sedekat itu dalam Islam. Tapi India dan Pakistan malah saling ancam dengan rudal, seolah-olah mereka saling lupa cara menyapa.
Islam tidak pernah membenarkan agresi. Bahkan jika ada konflik, Islam memerintahkan untuk mengirim utusan damai. Dalam Surah Al-Hujurat ayat 9, Allah berfirman:
“Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap yang lain, maka perangilah yang berbuat zalim itu hingga ia kembali kepada perintah Allah. Jika ia telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Konflik India-Pakistan bukan hanya soal teritori. Ini soal kegagalan dua negara dalam menjaga amanah bertetangga. Lebih menyedihkan lagi, sebagian besar korban konflik ini adalah kaum Muslimin sendiri. Muslim membunuh Muslim karena dendam politik? Bukankah itu tragedi yang lebih dalam dari sekadar kehilangan wilayah?
Solusi Islam: Jangan Pakai Nuklir, Pakai Akhlak
India dan Pakistan bisa belajar dari Piagam Madinah. Rasulullah saat memimpin Madinah tidak langsung angkat senjata terhadap Yahudi Bani Quraizhah atau Bani Nadhir. Beliau bikin perjanjian, menjaga hak non-Muslim, dan menjaga kerukunan. Islam bukan agama agresi. Islam adalah agama rahmat, yang di tangan pemimpin yang benar bisa mendamaikan dunia.
Tapi tentu saja, itu kalau pemimpinnya punya akhlak. Sayangnya, kadang pemimpin justru menjadikan konflik sebagai alat kampanye. Saat ekonomi lesu, rakyat marah, dan korupsi merajalela, solusinya sederhana: cari musuh eksternal. Biar rakyat lupa kelangkaan minyak goreng, cukup tunjuk tetangga dan teriak, “Itu biang keroknya!”
Umat Islam harus cerdas. Jangan ikut terprovokasi. Jangan membela negara hanya karena kebetulan punya nama Islam. Kebenaran harus di atas bendera. Sebab Rasulullah ﷺ bersabda:
“Bukan dari golongan kami orang yang menyeru kepada fanatisme golongan (‘ashabiyah), bukan dari golongan kami orang yang berperang karena ‘ashabiyah, dan bukan dari golongan kami orang yang mati karena ‘ashabiyah.” (HR. Abu Dawud)
Kalau perang India-Pakistan pecah lagi, lalu kita ramai-ramai ikut membela berdasarkan bendera, tanpa melihat keadilan dan kebenaran, maka jangan-jangan kita sudah kehilangan ruh Islam dalam berpikir.
Hikmah Bertetangga: Dari Kashmir ke Kampung Kita
Akhirnya, mari kita bawa konflik ini ke level RT. Jangan seperti India dan Pakistan. Kalau tetangga salah parkir, jangan langsung viralkan. Kalau ayamnya berkokok jam 3 pagi, jangan siram pakai air panas. Kalau anaknya lempar bola ke atap, jangan bawa ke kelurahan.
Bertetangga adalah bagian dari ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” (HR. Muslim)
Kalau India dan Pakistan bisa perang sampai puluhan tahun karena gagal urus perjanjian air, maka kita seharusnya bisa introspeksi. Jangan sampai kita juga gagal mengurus air galon, karena rebutan antrian dengan tetangga.
Di ujung cerita ini, Kashmir masih menangis. Setiap hari ada orang tua kehilangan anak, istri kehilangan suami, dan anak kehilangan ayah. Di tengah dinginnya salju Himalaya, darah masih mengalir. Dan dunia? Dunia sibuk dengan konten receh.
Maka mari kita doakan:
“Ya Allah, damaikanlah India dan Pakistan. Lunakkan hati para pemimpin mereka. Beri kemenangan bagi kaum Muslimin yang dizalimi, dan jauhkan umat dari fitnah perang. Jadikan kami umat yang memuliakan tetangga, menjaga akhlak, dan mencintai perdamaian.”
Aamiin ya Rabbal ‘Alamin.