Ketika rudal India menghantam wilayah Pakistan pada 7 Mei 2025, dunia kembali diingatkan bahwa teknologi manusia jauh lebih cepat berkembang dibanding akhlaknya. Jet tempur bisa melesat 2.000 km per jam, tetapi perdamaian masih terseok-seok mencari tempat duduk di sidang PBB. Namun, di tengah semua ledakan dan diplomasi yang lebih mirip drama politik, Islam datang membawa pendekatan yang berbeda. Bukan dengan amarah, bukan dengan dendam, tapi dengan misi ilahiah, menyambung kembali yang terputus, menyembuhkan luka bangsa, dan menenangkan bara konflik dengan air kesejukan wahyu.
Islam tidak memungkiri adanya perang. Dalam sejarah Nabi Muhammad, terdapat perang-perang yang terjadi sebagai respons terhadap ancaman nyata terhadap umat Islam. Namun, Islam bukan agama yang mengagungkan peperangan. Sebaliknya, perang adalah opsi terakhir dalam kondisi keterpaksaan dan dilakukan dengan aturan-aturan ketat yang mengedepankan keadilan dan kemanusiaan.
Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 190, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Ayat ini dengan sangat tegas menunjukkan bahwa Islam mengizinkan perang hanya dalam konteks mempertahankan diri. Bahkan dalam perang pun, Islam melarang pembunuhan terhadap anak-anak, wanita, orang tua, dan non-kombatan. Tidak boleh merusak rumah ibadah, tidak boleh membakar tanaman, dan tidak boleh menyiksa tawanan. Ini bukan perang barbar. Ini jihad dengan adab.
Namun, jika pintu damai terbuka, Islam lebih memilih untuk masuk ke dalamnya.
Allah berfirman dalam Surah Al-Anfal ayat 61, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ayat ini turun dalam konteks perang antara kaum Muslimin dan musyrikin Quraisy. Namun, spirit ayat ini berlaku universal: jika pihak lawan menunjukkan itikad damai, maka Islam wajib meresponsnya dengan semangat yang sama. Bahkan dalam posisi unggul sekalipun.
Nabi Muhammad sendiri pernah menerima perjanjian damai yang secara lahiriah terlihat merugikan, Perjanjian Hudaibiyah. Namun dalam pandangan strategis kenabian, beliau memahami bahwa damai hari ini bisa menjadi jalan bagi kemenangan moral dan dakwah di hari esok. Benar saja, setelah perjanjian damai itu, Islam berkembang pesat tanpa harus mengangkat senjata. Hati musuh luluh bukan oleh pedang, tapi oleh akhlak dan dakwah.
Peran Ulama dan Negosiator dalam Islam
Islam sangat menghargai peran perantara damai. Dalam Surah Al-Hujurat ayat 9, Allah berfirman, “Dan jika dua kelompok dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya…”
Ayat ini adalah perintah langsung agar konflik antarpihak diselesaikan secara damai dengan melibatkan pihak ketiga sebagai penengah. Dalam konteks modern, ini bisa diartikan sebagai mediasi diplomatik, rekonsiliasi melalui tokoh agama, atau negosiasi internasional yang jujur dan adil. Islam menempatkan ulama sebagai penjaga nurani umat. Mereka tidak hanya berdakwah di masjid, tapi juga hadir di ruang diplomasi sebagai pembawa pesan damai.
Umar bin Khattab pernah berkata, “Tidak akan tegak sebuah negara meski dihuni oleh orang kafir, jika mereka menegakkan keadilan. Namun sebuah negara bisa hancur meski dihuni oleh orang Islam jika mereka menegakkan kezaliman.”
Artinya, perdamaian adalah bentuk tertinggi dari keadilan, dan Islam mendukung segala bentuk rekonsiliasi yang adil meskipun dilakukan oleh pihak non-Muslim.
Kasus India-Pakistan: Islam Menawarkan Jalan Tengah
Konflik India-Pakistan, terutama soal Kashmir, telah berlangsung selama lebih dari 75 tahun. Puluhan ribu nyawa melayang, generasi demi generasi tumbuh dalam ketakutan, dan dunia internasional hanya mampu berkata: “kami prihatin.”
Bayangkan jika kedua negara yang mayoritas rakyatnya menjunjung tinggi nilai agama ini, duduk bersama dengan satu tujuan, bukan untuk mencari menang, tetapi untuk mencari keadilan dan keselamatan bagi umat manusia.
Islam tidak pernah membela agresor, tetapi juga tidak mendukung balas dendam yang membabi buta. Jalan tengahnya adalah:
1. Dialog tulus, bukan diplomasi basa-basi.
2. Gencatan senjata permanen, bukan sekadar rehat sementara sebelum kembali menembakkan peluru.
3. Restitusi korban perang, agar yang kehilangan tidak dilupakan.
4. Kerjasama ekonomi lintas perbatasan, agar anak-anak Kashmir bisa sekolah, bukan sembunyi di bunker.
5. Pengakuan kemanusiaan di atas ego nasionalisme.
Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah yang paling suka berkonflik dan keras kepala.” (HR. Bukhari)
Jika para pemimpin India dan Pakistan sungguh-sungguh mengaku beriman, baik Muslim, Hindu, atau agama apa pun, maka saatnya mereka bertanya bukan “bagaimana menang?”, tetapi “bagaimana kita menyelamatkan generasi mendatang?”
Islam Tidak Naif: Damai Butuh Kekuatan
Islam bukan agama pasrah. Damai yang ditawarkan bukan damai lemah. Rasulullah membangun kekuatan, menjaga pertahanan, dan menakuti musuh agar tidak berani menyerang. Tetapi semua itu hanya untuk memastikan: perdamaian bisa dijaga. Keadilan bisa ditegakkan. Dan manusia bisa hidup dalam rasa aman.
Dalam logika Islam, perdamaian bukanlah hasil dari ketakutan, tapi dari keseimbangan antara quwwah (kekuatan) dan rahmah (kasih sayang).
Hari ini, dunia kelelahan. Negara-negara bersenjata nuklir berlomba menunjukkan taji, padahal rakyat mereka sedang antre beras. Teknologi militer mencengangkan, tetapi hati manusia semakin tumpul. Maka biarlah Islam bicara. Dengan wahyu, dengan cinta, dengan akal dan nurani. Karena saat rudal ditembakkan, Islam menawari damai. Damai yang Islam tawarkan… bukan sekadar berhenti perang, tapi mulai hidup sebagai manusia.*