Ketika Jalan Turun Menjadi Jalan Menuju Surga, Kisah 11 Guru PAUD Meninggal
Purworejo, 7 Mei 2025. Langit mendung, seperti sudah tahu bahwa hari itu bumi akan kehilangan cahaya. Angin semilir di Kalijambe, Kecamatan Bener, berhembus pelan, membawa firasat yang tidak enak, seperti nenek-nenek yang bisik-bisik di teras musholla, “Iki ra bakalan apik…”
Sekitar pukul 11.00 WIB, semesta memutuskan untuk menulis sebuah babak sejarah penuh luka dalam kitab kebangsaan yang sudah sobek-sobek. Sebuah truk tronton pengangkut pasir, dengan kekuatan lebih dari 12 ton dan cita-cita menjadi pesawat luar angkasa, meluncur dari arah Magelang menuju Purworejo melalui jalur menurun yang sudah sejak zaman Majapahit terkenal sebagai tanjakan iman, turunan ajal.
Benar saja, ibarat motor tua yang dipaksa ikut drag race, truk ini mengalami rem blong. Sebuah istilah yang di Indonesia tidak lagi terdengar sebagai kecelakaan mekanik, melainkan semacam kutukan nasional, hantu urban legend yang muncul setiap musim lebaran, panen, atau arisan RT.
Rem. Blong.
Dua kata yang lebih menakutkan dari “utang jatuh tempo.”
Sopir truk, Ladis (49), mungkin sudah mengerahkan segala teknik ninja dan doa-doa dari Google Translate Arab, tapi apa daya, hukum Newton tak bisa dilawan. Truk itu meluncur tak terkendali, seperti dosa lama yang akhirnya ditagih malaikat maut.
Di waktu dan ruang yang sama, sebuah angkot biru sedang membawa 11 guru PAUD dalam perjalanan takziah. Para perempuan tangguh ini adalah pahlawan yang setiap hari berjihad mengajarkan alfabet pada anak-anak yang lebih tertarik pada TikTok dan lem stiker. Mereka bukan sedang liburan ke Bali, bukan juga pergi piknik ke Ketep Pass, mereka sedang menjalankan misi sosial, melayat orang yang wafat.
Takdir berkata, “Sudah cukup.” Di sebuah tikungan tajam yang lebih mencekam dari plot sinetron Indosiar, truk tronton dan angkot biru bertemu. Tidak ada dialog, tidak ada negosiasi, hanya suara Braaakkk!! yang membuat langit menggigil dan bumi merinding.
Benturan itu bukan sekadar tabrakan. Itu adalah tabarruk mautiah, perpaduan antara bencana mekanik, sistem transportasi yang ogah berubah, dan kebodohan struktural yang sudah turun-temurun diwariskan.
Angkot remuk.
Truk terguling.
Sebuah rumah warga ikut dihantam.
Udara dipenuhi debu, pasir, dan jeritan, bukan cuma dari manusia, tapi juga dari para jin lokal yang kaget.
Sebelas guru PAUD meninggal di tempat. Beberapa lainnya luka-luka, dilarikan ke RSUD Purworejo. Dan dua hari kemudian, pada 9 Mei 2025 pukul 05.08 WIB, sang sopir Ladis menyusul ke alam baka setelah dirawat intensif di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Total korban jiwa: 12 orang.
Dua belas. Dua belas jiwa yang terbang lebih tinggi dari truk yang menghantam mereka. Dua belas nyawa yang disambut dengan karpet merah di langit, diiringi malaikat yang berkata, “Selamat datang, wahai syuhada pendidikan dan pengemudi yang lelah.”
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya netizen sambil menyeruput kopi sambil rebahan di kasur empuk. Jawabannya sederhana dan menyakitkan, karena ini Indonesia.
Di negeri ini, rem blong bukan musibah, tapi tradisi. Pengawasan kendaraan berat hanya dilakukan lewat stiker bertuliskan “Doa Ibu Menyertaimu” yang ditempel di dashboard. Sistem transportasi kita tidak dibangun atas dasar logika, tapi keberuntungan dan musyawarah mufakat dengan tukang tambal ban.
Bahkan jalur Kalijambe itu sendiri sudah puluhan tahun dikenal sebagai “jalan turunan maut.” Tapi entah mengapa, jalur itu tetap dipakai seperti biasa, seolah-olah nyawa rakyat adalah angka statistik dalam file Excel pejabat.
Penyelidikan masih berlanjut, kata aparat. Mereka sedang “menganalisis kondisi kendaraan.” Mungkin akan ditemukan bahwa truk tidak hanya remnya blong, tapi juga STNK-nya kedaluwarsa, oli-nya sudah kayak kuah bakso, dan bannya lebih tipis dari iman netizen pas sahur.
Lalu, bagaimana kita menafsirkan tragedi ini dalam perspektif Islam? Kita tidak sedang bercanda. Dalam absurditas ini, tetap ada makna suci. Para guru PAUD ini meninggal dalam perjalanan mulia. Mereka sedang menjalankan amal, takziah. Mereka bukan pengangguran yang keluyuran, bukan juga penonton konser yang keasyikan joget. Mereka adalah mujahidah pendidikan. Yang pagi-pagi sudah mandi, pakai baju terbaik, niat tulus, dan… naik angkot.
Dalam Islam, orang yang wafat dalam perjalanan ibadah, dalam tugas mulia, termasuk kategori husnul khatimah. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barang siapa mati karena musibah, maka ia syahid.”(HR. Abu Dawud). Wafat ditabrak truk rem blong saat sedang menolong sesama manusia? Kalau itu bukan syahid, kita tidak tahu lagi apa.
Sekarang, mari kita renungkan. Truk itu mungkin datang dari pabrik. Tapi dalam realitas spiritual, ia seperti utusan malaikat maut versi bermesin diesel. Ia datang bukan untuk sekadar menghancurkan logam dan tulang, tapi untuk mengguncang hati bangsa yang sudah terlalu sering tidur siang di atas mayat rakyatnya sendiri.
Apakah kita akan mengingat tragedi ini seminggu ke depan? Mungkin tidak. Kita akan sibuk dengan berita artis cerai, cuaca ekstrem, dan promo belanja 5.5. Tapi bagi keluarga korban, 7 Mei 2025 akan menjadi tanggal keramat. Hari di mana ibu, kakak, anak, atau suami mereka pergi tak kembali, dibawa oleh truk yang seharusnya bisa berhenti… andai sistem kita tidak sepelik sinetron.
Selamat jalan, wahai para guru PAUD. Kalian tidak hanya mengajar huruf dan angka, tapi juga mengajarkan kami arti keteguhan, ketulusan, dan kematian yang bermartabat.
Selamat jalan, Pak Ladis. Semoga Allah ampuni kelalaian, karena sejatinya Engkau juga korban dari sistem yang lebih kejam dari rem blong itu sendiri.
Semoga para pejabat yang baca berita ini tidak hanya berkata, “Turut berduka,” sambil lanjut makan kue rapat. Tapi benar-benar berpikir, bahwa satu baut yang longgar bisa jadi pintu kematian untuk dua belas manusia.
Semoga satu hari nanti, ketika malaikat bertanya, “Apa yang kau lakukan saat rakyatmu ditabrak truk?” Para penguasa bisa menjawab dengan jujur. Karena sejarah sedang menulis.
Tinta darah guru PAUD jauh lebih langgeng dari tinta birokrasi.
Al-Fatihah. Untuk mereka yang dibawa truk ke surga.