Ketika Dunia Islam Bersatu, Sebuah Tafsir Absurd dari Konferensi PUIC ke-19

Ketika Dunia Islam Bersatu, Sebuah Tafsir Absurd dari Konferensi PUIC ke-19

Dalam suasana yang khidmat dan penuh semangat ukhuwah Islamiyah, dan tentu saja dengan AC yang menyala dingin serta prasmanan yang menggoda iman, para pemimpin negara-negara Muslim berkumpul dalam Konferensi ke-19 Parliamentary Union of the OIC Member States (PUIC) di Jakarta. Ini bukan kumpul-kumpul biasa. Ini bukan reuni alumni pesantren internasional. Ini adalah momen penuh harapan di mana dunia Islam, dengan segala kerumitannya, mencoba bersatu kembali. Atau setidaknya terlihat seperti bersatu di depan kamera media.

 

Konferensi ini digelar dengan niat mulia, memperkuat kerja sama dalam bidang ekonomi, lingkungan, hak asasi manusia, pemberdayaan perempuan, dan generasi muda. Sungguh agenda yang sangat lengkap, nyaris seperti daftar resolusi awal tahun umat Islam sejagat raya. Namun seperti resolusi tahun baru, implementasinya masih sering terselip di antara lembar-lembar rapat dan pernyataan pers yang manis, meski realitasnya kadang pahit seperti kopi Arab tanpa gula.

 

Presiden Prabowo Subianto, sebagai tuan rumah, dengan penuh semangat menyerukan agar dunia Islam kembali menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Seruan ini luar biasa. Sangat filosofis. Menggetarkan relung sanubari. Tapi juga mengingatkan kita pada buku-buku sejarah yang mencatat bahwa umat Islam dulu memang pernah menguasai ilmu pengetahuan, lalu entah kenapa sekarang lebih sibuk memviralkan ceramah ustaz dengan judul clickbait seperti “Bolehkah Menyisir Rambut Setelah Wudhu?” atau “Hukum Menonton Anime dengan Niat Belajar Silat.”

 

Para pemimpin Muslim kemudian membahas ekonomi syariah. Ini penting, karena ekonomi syariah adalah sistem yang katanya berkah, adil, dan bebas dari riba. Tapi yang sering terjadi di lapangan, umat malah terjebak dalam investasi bodong yang diberi embel-embel “syariah” agar kelihatan suci, padahal isinya hutang berbunga ditambah janji bonus umrah yang berakhir jadi tiket ke pengadilan. Kemandirian ekonomi umat pun terus didengungkan, tapi dengan volume yang kalah keras dibandingkan promo e-commerce 12.12.

Lalu, ada isu lingkungan. Ini topik yang sangat futuristik untuk dibahas oleh dunia Islam yang kadang masih berdebat apakah daur ulang termasuk bid’ah hasanah atau tidak. Para pemimpin negara Islam menyadari bahwa perubahan iklim adalah masalah serius, dan mereka menyerukan kerja sama dalam teknologi hijau. Tapi ironisnya, banyak negara Islam masih bergantung pada minyak bumi sambil menyalahkan barat atas global warming, sembari mengimpor mobil mewah yang mesinnya haus bensin seperti unta kehausan di tengah gurun.

Isu Palestina pun kembali menjadi highlight. Seperti biasa, dukungan moral dan diplomatik digelorakan. Resolusi dibacakan. Solidaritas dikumandangkan. Tapi seperti sinetron yang tayang 1.000 episode, endingnya tetap menggantung. Dunia Islam sepakat bahwa Palestina harus merdeka, tapi entah kenapa ketika butuh aksi nyata, yang muncul hanyalah kecaman virtual dan hastag #PrayForPalestine yang viral selama seminggu, lalu hilang ditelan algoritma TikTok.

Masalah Islamofobia juga masuk agenda. Para pemimpin mengutuk diskriminasi terhadap Muslim di negara-negara Barat. Tapi, yang jarang dibahas adalah Islamofobia internal: saling mengkafirkan di antara sesama umat, tudingan sesat kepada mazhab berbeda, hingga perlakuan tidak adil terhadap minoritas Muslim di negeri Muslim sendiri. Karena jujur saja, kadang yang lebih menakutkan dari Islamofobia luar adalah Islamo-pokrol dalam negeri yang menganggap dirinya satu-satunya pemilik kunci surga dan distributor tunggal pahala.

Di tengah semua itu, hadir juga wacana pemberdayaan perempuan dan anak muda. Ini terdengar progresif, canggih, dan menggembirakan. Tapi dalam praktiknya, perempuan Muslim masih sering dibatasi dalam ruang publik, kecuali kalau mau diminta tampil sebagai ikon kampanye keluarga sakinah. Anak muda? Mereka didorong aktif dalam politik dan ekonomi, asal tetap patuh, tidak terlalu vokal, dan tidak mengusik kenyamanan status quo. Begitu anak muda kritis, langsung dituduh terpapar barat, liberal, atau agen Yahudi global. Padahal kadang mereka cuma ingin anggaran beasiswa ditambah dan akses internet dipercepat.

Semua pidato dan komitmen dalam PUIC terdengar megah, seperti khutbah Jumat edisi spesial. Tapi ada ironi yang tak bisa ditutupi: dunia Islam, meski kaya sumber daya dan sejarah gemilang, masih terlalu sering terjebak dalam narasi nostalgia dan romantisme kejayaan masa lalu, alih-alih membangun sistem konkret yang bekerja di masa kini. Kita sibuk mengenang Ibnu Sina dan Al-Khawarizmi, tapi lupa bahwa algoritma Instagram yang mengatur hidup kita hari ini dikembangkan di Silicon Valley, bukan di Madinah.

Filsafat Islam sendiri pernah mengajarkan bahwa umat yang tak merenung akan tersesat dalam rutinitas yang absurd. Merenung di sini bukan berarti merenung di cafe sambil upload story “healing dulu ya, guys”, tapi perenungan eksistensial tentang arah peradaban. Dunia Islam seolah terus terombang-ambing antara keinginan untuk modern tapi takut disebut liberal, ingin religius tapi enggan meninggalkan kemalasan, ingin bersatu tapi terlalu sibuk membangun tembok di antara mazhab dan golongan.

Solidaritas dunia Islam seharusnya bukan sekadar slogan tahunan atau dekorasi konferensi. Solidaritas bukan hanya soal menghadiri forum internasional dengan setelan jas dan sorban mahal, melainkan keberanian kolektif untuk melawan ketidakadilan, baik yang dilakukan oleh musuh eksternal maupun oleh para pemangku kekuasaan internal yang doyan mengutip ayat untuk melanggengkan kemapanan. Solidaritas berarti berbagi ilmu, teknologi, dan sumber daya, bukan hanya berbagi kutukan terhadap “barat yang dekaden”.

PUIC ke-19 seharusnya menjadi momentum reflektif, bukan hanya seremoni. Kita tidak butuh lagi janji-janji kosong yang dibungkus istilah Arab yang terdengar suci tapi hampa aksi. Dunia Islam hari ini tidak kekurangan ulama, pemimpin, atau akademisi yang kurang adalah keberanian untuk melampaui ego nasionalisme sempit dan menciptakan sistem kerja sama yang tidak hanya Islami dalam nama, tapi juga dalam etika, keadilan, dan kebermanfaatan nyata.

Sementara itu, umat di akar rumput tetap bergulat dengan harga kebutuhan pokok, pendidikan yang tak merata, dan politik yang lebih sering mempertontonkan sandiwara daripada solusi. Maka, jika para pemimpin Muslim benar-benar ingin menyatukan dunia Islam, langkah pertama bukan membuat lebih banyak konferensi tapi membuat lebih sedikit alasan untuk tidak berubah.

Jika masih sulit juga untuk bersatu dalam dunia nyata, setidaknya bersatulah dulu dalam satu grup WhatsApp. Siapa tahu, dari situ bisa lahir keputusan yang lebih cepat dari resolusi rapat yang harus diterjemahkan ke tujuh bahasa, diverifikasi oleh tujuh komite, dan ditandatangani oleh tujuh malaikat penjaga protokol.

Wallahu a’lam bis showab. Tapi kita tahu, Allah tidak butuh rapat untuk menyelamatkan umat.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Top