Islamofobia di Prancis, Ketika Jilbab Lebih Mengancam dari Nuklir

Islamofobia di Prancis, Ketika Jilbab Lebih Mengancam dari Nuklir

La Grand-Combe, Prancis, Negeri parfum, menara Eiffel, dan baguette kini resmi menambah satu lagi kebanggaan nasional, kebijakan Islamofobia premium edisi terbatas. Karena ya, kalau bisa diskriminatif, kenapa harus toleran?

Tanggal 25 April 2025, dunia diguncang, bukan karena meteor jatuh atau alien datang, tapi karena seorang pemuda Muslim asal Mali bernama Aboubakar ditikam lebih dari 50 kali di sebuah masjid oleh seorang non-Muslim yang bahkan sempat merekam aksinya sambil meneriakkan “bonus makian anti-Islam edition”. Ah, Prancis, negeri yang katanya cinta kebebasan, asal bukan kebebasan berjilbab atau beribadah.

Presiden Emmanuel Macron langsung muncul seperti cameo dalam sinetron politik, mengutuk keras seraya berkata, “Kebencian berbasis agama tidak punya tempat di Prancis.” Mungkin maksudnya, tempatnya sudah penuh. Karena sebelumnya sudah disediakan untuk kebijakan pelarangan jilbab di sekolah, pelarangan burkini di pantai, dan yang terbaru, rencana pelarangan jilbab di universitas.

Karena tentu saja, apa yang lebih berbahaya dari jilbab? Terorisme? Nuklir? Inflasi? Ah, tidak. Itu semua kalah menyeramkan dibanding sepotong kain di kepala yang katanya mengancam kesatuan Republik.

Prancis suka sekali mengutip “liberté, égalité, fraternité.” Tapi jika kamu Muslim, terutama yang berjilbab, kata “liberté” berubah jadi “tahan dulu deh, nanti aja kalau udah ganti agama.” “Égalité” hanya berlaku kalau kamu atheis berkulit putih makan baguette. Dan “fraternité”? Mungkin itu maksudnya solidaritas dalam mendiskriminasi bersama.

Ketika jilbab dilarang karena dianggap simbol agama yang “mengganggu sekularisme,” ternyata salib di leher dianggap seni. Patung Perawan Maria dianggap budaya. Tapi jilbab? Terorisme edisi portable.

Ini seperti menyuruh orang jangan pakai payung saat hujan karena bisa mengganggu estetika langit mendung. Logikanya istimewa.

Yang paling ironis, ketika pelaku Islamofobia menyerang, mereka disebut “gangguan mental”. Tapi kalau pelakunya Muslim? Otomatis “teroris”. Bahkan kalau dia cuma ngupil di tempat umum, pasti ada headline: “Upil Halal: Ancaman Baru Peradaban Barat.”

Menteri Dalam Negeri Prancis pun dengan penuh kebijaksanaan tingkat “dewa meme” mengusulkan pelarangan jilbab di universitas. Karena mahasiswa Muslim itu terlalu berbahaya, mereka bisa menjawab ujian sambil mengislamisasi kertas jawaban. Gawat, bro.

Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak tinggal diam. Mereka mengecam keras insiden penusukan ini, menuntut penegakan hukum yang adil dan serius. Tapi apakah suara MUI sampai ke telinga para elit Prancis? Mungkin sampai, tapi setelah dikonversi ke bahasa yang hanya bisa dipahami oleh algoritma Netflix.

PBB memang sudah mengeluarkan resolusi untuk melawan Islamofobia. Tapi sayangnya, resolusi itu seperti kertas tisu, banyak kata, tapi fungsinya hanya membersihkan muka secara simbolis. Tak ada gigi hukum, hanya senyum diplomatis dan foto bersama.

Islamofobia di Prancis bukan sekadar “sentimen sosial” ini bukan status Facebook yang bisa di-unfriend. Ini nyata. Ini berdarah. Ini bukan teori konspirasi seperti “Bumi datar”, tapi fakta konkret yang bisa dicek lewat rekaman CCTV dan laporan rumah sakit.

Mungkin satu-satunya cara agar dunia serius soal Islamofobia adalah dengan membuat drama Korea berjudul “Hijab di Musim Salju” yang tayang global. Kalau perlu, ada scene di mana karakter Muslim dilempar croissant tapi membalas dengan ayat Al-Qur’an dan hati yang lapang. Dijamin viral.

Tapi serius, Islam bukan ancaman. Muslim bukan musuh. Jilbab bukan senjata pemusnah massal. Masjid bukan markas konspirasi. Itu semua hanya simbol dari iman, identitas, dan cinta kepada Tuhan. Kalau dunia benar-benar ingin adil, maka yang dibasmi adalah kebencian, bukan jilbab. Yang dikecam adalah kekerasan, bukan keyakinan.

Semoga Allah menjaga umat Islam di mana pun berada. Semoga kita tidak hanya bereaksi saat tragedi datang, tapi terus bergerak untuk keadilan, dengan cerdas dan sabar. Dan semoga suatu hari nanti, jilbab bisa berjalan bebas di jalanan Paris tanpa dianggap “alien mode aktif”. Aamiin.

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Top