OIeh Rosadi Jamani
Langit Kubu Raya pagi itu tampak biasa saja, biru muda dengan awan tipis berarak pelan. Tapi di balik tembok tinggi Lapas Kelas IIA Pontianak, Jumat 11 April 2025 menjadi hari yang luar biasa. Hari yang tak akan pernah dilupakan oleh seorang lelaki bernama KA. Hari saat hidupnya berubah. Hari ketika langit hatinya yang dulu kelam, akhirnya dipenuhi cahaya.
KA bukan orang sembarangan. Di luar sana, ia pernah jadi sosok yang ditakuti. Tegas, dingin, dan tanpa belas kasihan. Ia menjalani hidupnya seperti menapaki jalan berbatu dalam kegelapan, tanpa arah, tanpa tujuan. Dunia membentuknya menjadi sosok keras, dan ia menerimanya tanpa protes.
Namun jeruji besi yang kini mengurungnya justru menjadi tempat Allah menyapanya. Bukan dengan suara yang mengguntur atau mimpi yang menakjubkan. Tapi lewat hal-hal yang sederhana… yang hening… namun mengetuk sampai ke dasar hatinya.
“Awalnya aku hanya duduk di pojok masjid lapas. Aku tidak paham apa-apa. Tapi tiap kali azan berkumandang, jantungku bergetar,” ucap KA lirih suatu waktu kepada petugas pembinaan. Tak ada yang menyuruhnya datang ke masjid. Tapi entah kenapa, langkah kakinya terasa ringan ke sana. Seperti ada yang menggandengnya pelan.
Hari-hari berlalu. Ia mulai bertanya. Tentang Islam. Tentang Muhammad. Tentang Allah. Ia membaca, mulai dari buku kecil berdebu, hingga Al-Qur’an yang dibuka oleh seorang teman yang hafal beberapa surah.
Lalu suatu malam, ia tak bisa tidur. Ia duduk sendiri di dalam sel, menatap jeruji yang membentuk bayang-bayang aneh di lantai. Di luar, hujan turun deras. Di dalam, jiwanya pun menangis. Tubuhnya menggigil, entah karena udara dingin atau karena getaran yang ia rasakan di dada.
Di situlah, ia bersujud untuk pertama kali. Tanpa tahu tata cara. Tanpa hafalan bacaan. Ia hanya menempelkan dahinya ke lantai sel sambil berbisik, “Ya Tuhan… jika Engkau ada, buktikan. Jika Engkau nyata, tunjukkan jalanku…”
Jawaban itu datang lebih cepat dari yang ia bayangkan. Pagi itu, Masjid Miftahul Jannah lapas diselimuti keheningan penuh khidmat. Para warga binaan duduk rapi. Petugas masjid menunduk khusyuk. Di tengah ruangan, berdiri KA dengan kemeja sederhana, mata memerah, dan suara tercekat menahan tangis. Di hadapannya, berdiri H. Kartono, penyuluh agama dari Kemenag Kalbar, yang akan membimbing prosesi paling agung dalam hidup seorang manusia, masuk Islam.
“Ucapkan perlahan, dengan keyakinan, dengan seluruh isi hatimu,” ucap H. Kartono lembut.
Dari bibir KA, yang kini bergetar karena haru, mengalun kalimat yang menggetarkan jiwa:
“Asyhadu alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah…”
“Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Tak ada takbir yang menggema seperti di stadion. Tapi air mata yang jatuh dari mata para saksi hari itu adalah takbir yang paling sunyi, dan paling menyentuh.
Kini, namanya adalah Muhammad Hidayat. Sebuah nama baru untuk hidup yang baru. Kepala Lapas, Mut Zaini, menepuk bahunya dan berkata, “Hari ini, kamu tidak hanya lahir kembali, tapi kamu baru saja membuka pintu menuju cahaya sejati. Jalan ini berat, tapi kamu tidak sendiri. Allah bersamamu.”
Sejak hari itu, Hidayat menjadi orang yang berbeda. Ia selalu datang pertama ke masjid, duduk di saf depan, membawa mushaf usang yang ia pegang seolah itu hartanya satu-satunya. Ia belajar mengeja huruf demi huruf hijaiyah seperti anak kecil yang baru belajar bicara, tapi matanya bersinar. Ia bukan hanya membaca, ia sedang kembali kepada Allah.
Dulu, KA merasa hidupnya berakhir di balik jeruji. Tapi ternyata, di balik jeruji itulah Allah menyapanya. Ia tidak mendapatkan Islam dari ceramah lantang. Ia tidak mendapatkan hidayah dari ledakan mukjizat. Ia mendapatkannya lewat hujan malam, lewat getaran hati, lewat suara Al-Qur’an yang dibaca pelan.
Siapa sangka? Seorang mantan narapidana, yang pernah ditelan gelapnya dunia, kini menjadi obor kecil yang menerangi teman-temannya. Beberapa napi mulai mengikuti jejaknya, bertanya, belajar, ingin mengenal Tuhan seperti dia mengenalnya, bukan karena dipaksa, tapi karena telah merasakan sentuhan kasih dari Zat yang Maha Pengasih.
Hidayah itu seperti cahaya matahari yang menyusup lewat celah terkecil. Tak peduli di mana seseorang berada, di istana atau di balik jeruji, di atas sajadah atau di dasar keputusasaan, jika ia membuka hatinya, cahaya itu akan masuk… dan menyinari seluruh hidupnya.
Muhammad Hidayat adalah bukti nyata, bahwa di balik masa lalu yang gelap, Allah selalu menyimpan masa depan yang penuh cahaya.