Madinah, suatu sore sebelum Islam menyinari jazirah. Langit mencoretkan warna keemasan di ufuk barat, dan aroma debu hangat memenuhi udara. Di balik tirai rumah dari batu-batu kasar, seorang perempuan menatap senja dengan mata yang penuh harap. Dialah Sulaim binti Milhan, perempuan berhati lembut yang oleh orang-orang dipanggil Ummu Sulaim.
Ia bukan perempuan biasa. Keanggunannya tidak bertumpu pada rupa, tapi pada keteguhan jiwa. Ia lahir dari tanah Yatsrib, tanah yang kemudian dikenal sebagai Madinah, dan tumbuh dalam pelukan nilai-nilai lama. Tapi jauh dalam relung hatinya, ia selalu bertanya… tentang kebenaran, tentang makna hidup yang lebih dari sekadar menyembah batu yang tak menjawab doa.
Ia mencintai suaminya, Malik bin Nadhir, lelaki tegap dengan mata tajam dan suara berat. Malik adalah pelindungnya. Satu-satunya laki-laki yang membuatnya merasa aman, bahkan ketika dunia di luar terasa bising dan kejam. Dari rahim Ummu Sulaim lahir seorang anak lelaki, Anas, yang menjadi pelita kecil di rumah sederhana mereka.
Rumah itu tak selalu damai. Tapi cinta tetap tinggal, seperti lentera yang terus menyala meski angin mengoyak api. Malik tak pernah pandai bicara manis, tapi ia bekerja keras. Ia membawa pulang makanan, mengusap kepala anaknya, dan sesekali tersenyum—senyum yang cukup untuk membuat Ummu Sulaim merasa dihargai.
Namun, takdir adalah angin yang tak bisa dikekang. Ia datang pelan, membawa sesuatu yang tak pernah terbayangkan: Islam. Sebuah kabar aneh yang dibawa dari Mekkah. Tentang seorang lelaki bernama Muhammad yang mengajak manusia meninggalkan berhala dan menyembah hanya satu Tuhan.
Ummu Sulaim mendengar tentang Islam pertama kali dari kerabat jauhnya. Malam itu, ketika semua tidur, ia duduk sendirian di sudut rumah, menyusui Anas yang masih kecil, dan hatinya bergetar. Kata-kata “Laa ilaaha illallah” menembus relung yang paling sunyi. Rasanya seperti pulang ke tempat yang tak pernah ia tahu ia rindukan.
Malam-malam berikutnya, Ummu Sulaim mencari. Ia mendengarkan, diam-diam. Mengendap-endap bertanya kepada orang-orang yang telah lebih dahulu bersyahadat. Dan ketika keyakinannya penuh, ia bersujud dalam keheningan. Air matanya jatuh, membasahi tanah. Ia mengucap syahadat, sendiri, tapi jiwanya ditemani langit.
Ia tahu… keputusan itu bukan tanpa risiko. Malik bukan lelaki lunak. Ia keras dalam tradisi, teguh pada keyakinan lama. Tapi Ummu Sulaim telah menemukan sesuatu yang lebih dari cinta—ia menemukan Allah. Dan ketika seorang perempuan mencintai Tuhan, tak ada yang bisa membelokkan arah jalannya.
Ia tetap melayani Malik seperti biasa. Menyuguhkan makanan, menyambut dengan senyum saat suaminya pulang. Tapi dalam diam, ia menanam benih iman dalam hati Anas. Setiap malam, ia membisikkan, “Laa ilaaha illallah” ke telinga kecil itu, dengan harapan suatu hari kelak, cahaya itu tumbuh menjadi pohon yang kuat.
Namun, kebohongan tak bisa selamanya bersembunyi. Suatu sore, Malik pulang dengan raut wajah kelam. Ia mendengar dari seseorang di pasar bahwa istrinya telah mengikuti agama Muhammad. Ia masuk ke rumah seperti badai. Wajahnya merah. Suaranya pecah.
“Sulaim! Apa yang kudengar itu benar? Kau memeluk agama Muhammad? Agama sihir itu?!”
Ummu Sulaim berdiri. Jantungnya berdegup kencang. Tapi matanya tenang. “Aku telah menemukan kebenaran, wahai Malik. Aku tak memaksa. Tapi aku percaya.”
“Percaya? Itu sihir! Kau telah gila!” bentak Malik, tangannya terangkat, tapi terhenti di udara. Ia gemetar, bukan karena takut, tapi karena dunia yang ia kenal mulai retak.
Hari-hari setelah itu jadi gelap. Malik tak lagi berbicara banyak. Ia keluar pagi-pagi dan pulang larut malam. Ummu Sulaim tetap sabar. Tetap menyebut namanya dalam doa, berharap Allah melembutkan hatinya.
Namun, badai datang dalam bentuk lain.
Suatu hari, Malik mendengar anaknya, Anas, yang masih kecil, mengucapkan, “Laa ilaaha illallah” dengan lidah polosnya. Malik tersentak. Ia mencengkeram lengan anak itu dan berteriak, “Siapa yang mengajarimu itu?!”
Ummu Sulaim berlari memeluk Anas. Matanya berlinang. Tapi ia berdiri, melindungi anaknya.
“Akulah yang mengajarinya. Aku tak bisa menutup telinga anakku dari kebenaran, Malik. Aku tak bisa menahan cahaya dari menyentuh jiwanya.”
Malik menatap istrinya lama. Matanya merah. Tapi tak ada kata. Malam itu, ia pergi. Tanpa pamit. Tanpa peluk. Hanya suara pintu kayu yang menutup keras, menandai berakhirnya sebuah rumah tangga yang dibangun dari cinta, tapi runtuh karena perbedaan kiblat.
Ummu Sulaim menunggu. Berhari-hari. Tapi Malik tak kembali. Hingga suatu pagi, seseorang datang dengan kabar.
“Malik bin Nadhir… meninggal dalam perjalanan. Ia jatuh sakit. Meninggal sendirian.”
Tak ada yang tahu persis bagaimana akhir hidup Malik. Tapi yang jelas: ia pergi tanpa syahadat. Tanpa mengucap kalimat yang bisa menyelamatkannya di akhirat. Ummu Sulaim mendengar kabar itu dengan wajah tanpa ekspresi. Air matanya tak mengalir, bukan karena tak ada duka, tapi karena dukanya terlalu dalam untuk diluapkan.
Di malam hari, ketika Anas tertidur di pangkuannya, Ummu Sulaim menatap langit. Ia bicara pelan, seperti bicara kepada kekasih yang jauh.
“Wahai Malik… aku mencintaimu. Aku mencintaimu dengan utuh. Tapi cintaku pada Allah lebih dulu. Aku berharap kita bisa bersama lagi… di tempat yang lebih baik. Tapi kau memilih jalanmu. Dan aku… aku memilih Tuhan.”
Hari-hari berlalu. Ummu Sulaim tak menikah selama bertahun-tahun. Ia membesarkan Anas seorang diri, mengajarinya iman, mengantarkannya menjadi pelayan Nabi Muhammad ﷺ. Anas tumbuh menjadi sahabat yang mulia, dan Ummu Sulaim menjadi salah satu perempuan teladan dalam sejarah Islam.
Ia akhirnya menikah lagi. Dengan seorang sahabat besar: Abu Talhah. Tapi itu kisah lain. Cintanya kepada Malik tetap terukir dalam ruang-ruang sunyi hatinya. Tapi takdir telah menuliskannya di halaman berbeda.
Karena bagi Ummu Sulaim, mencintai manusia adalah anugerah, tapi mencintai Tuhan adalah jalan pulang.
Sumber: “Al-Ishabah fi Tamyiz al-Sahabah” – Ibnu Hajar al-Asqalani
Catatan: Kisah ini berdasarkan riwayat sejarah, dengan pengembangan cerita yang tidak mengubah makna pokok.