Dari Remaja 18 Tahun hingga Nenek 109 Tahun: Haji Bukan Soal Usia, Tapi Panggilan

Ketika Allah Memanggil, Tak Ada “Terlalu Muda” atau “Terlalu Tua”

Di tengah dunia yang makin bising, ada satu panggilan yang tidak bisa ditolak manusia: panggilan haji dari Allah. Iya, dari Allah langsung. Bukan dari call center Qatar Airways, bukan dari undangan open house Pak Gubernur, tapi dari Tuhan Semesta Alam. Panggilan ini begitu dahsyat, hingga mereka yang berusia 18 tahun pun siap mengorbankan usia mudanya yang biasanya diisi dengan scroll Reels dan cicil skincare, demi menyentuh Ka’bah yang penuh misteri dan cinta surgawi.

Mari kita mulai dari mereka yang disebut “termuda”, sebuah label yang biasanya digunakan untuk kompetisi esports, finalis Puteri Indonesia, atau kandidat mahasiswa teladan. Tapi kini, ‘termuda’ itu disematkan pada Levina Istiazah, gadis 18 tahun yang tak sedang ikut lomba tiktok berdurasi 60 detik, melainkan lomba spiritual menuju langit. Ia tak sedang menunggu notifikasi dari gebetan, melainkan menunggu wukuf di Arafah, tempat paling filosofis di muka bumi setelah Tiktok. Ia berangkat bukan untuk memenuhi bucket list masa muda, tetapi menggantikan ibunya yang telah meninggal. Dalam dunia yang sudah cukup gila ini, Levina memilih gilanya sendiri, gilanya mencintai Allah melebihi cinta pada dunia.

Lalu ada Suci Ramadhani, juga 18 tahun, yang menggantikan ibunya yang sakit. Sebuah pengganti yang tidak bisa dibeli di Shopee atau dipesan lewat GoFood. Suci tidak hanya membawa koper dan paspor, tapi juga air mata dan harapan yang dikirimkan dari tempat tidur ibunya. “Nak, doakan ibu di sana,” kata ibunya dengan suara yang pecah karena sakit dan cinta. Suci berjalan ke Tanah Suci seperti seorang pendekar spiritual dalam novel sufistik yang belum ditulis: diam-diam, lembut, tapi menghujam ke langit. Di tangannya ada doa, di kakinya ada semangat, dan di hatinya ada Allah, tempat semua cinta bermuara.

Zahrotun Ulin Nasroh, si termuda lainnya, tak mau kalah dalam epik ini. Ia melangkah ke Tanah Haram bukan untuk healing, tapi fulfilling, memenuhi wasiat ayahnya yang telah tiada. Ini bukan sekadar menjalankan pesan terakhir, ini adalah bentuk cinta yang menyeberangi batas dimensi. Bayangkan, seorang gadis muda membawa pesan dari dunia yang telah selesai ke dunia yang sedang diuji. Zahrotun adalah surat hidup yang dikirim oleh sang ayah ke Tuhan. Sebuah surat yang tidak dicetak di kertas, tapi ditulis di jiwa.

Di sisi lain, dalam spektrum usia yang kontras, muncullah nama yang tak bisa diabaikan, Mbah Sumbuk. Sebuah nama yang terdengar seperti tokoh dalam novel klasik atau pemilik warung legendaris di gang sempit. Tapi jangan salah. Di usia 109 tahun, seratus sembilan, bukan salah ketik, Mbah Sumbuk membuktikan bahwa ketika Allah memanggil, nyali manusia tak boleh ciut, meskipun lutut sudah sering ngilu. Ia bukan hanya tua, ia adalah legenda. Seperti pohon jati yang sudah berabad-abad berdiri, atau seperti radio tua yang masih bisa menangkap frekuensi surga.

Mbah Sumbuk berangkat bersama anak, menantu, dan cucunya. Ini bukan family trip ke Bali, ini adalah ekspedisi keluarga menuju maqam Ibrahim. Sungguh, kalau ada film dokumenter tentang keluarga ini, Netflix dan National Geographic bisa kolaborasi. Di bandara Jeddah, ketika Mbah Sumbuk mengucapkan syukur dengan lirih, malaikat pun mungkin menunduk takzim. “Alhamdulillah,” katanya dengan suara yang mungkin hanya bisa didengar oleh langit dan sejarah. Suara yang tidak keras, tapi mengguncang Arsy, sebab ia lahir dari tubuh yang sudah menua tapi hati yang masih muda untuk Tuhannya.

Bayangkan, betapa Allah Maha Aneh, dalam makna yang suci dan sakral. Ia memanggil manusia dengan cara yang sering tak masuk logika Excel atau SPSS. Yang satu disuruh berangkat karena ibunya tiada, yang lain karena ibunya sakit, yang satu lagi karena ayahnya berwasiat. Lalu muncullah nenek tua yang seharusnya sudah cukup beribadah dari rumah, tapi malah dikuatkan untuk menunaikan rukun Islam kelima. Ini bukan sinetron. Ini adalah skenario Allah. Seperti biasa, skenario-Nya selalu di luar nalar dan di dalam cinta.

Filsafat haji tak bisa dimengerti hanya dengan membaca brosur travel atau mengikuti pelatihan manasik. Ia adalah logika langit yang menembus bumi. Ketika manusia berkata, “Saya masih muda,” Allah berkata, “Kematian lebih muda darimu.” Ketika manusia berkata, “Saya sudah tua,” Allah menjawab, “Cinta tak mengenal keriput.” Ketika manusia berkata, “Saya belum siap,” Allah tersenyum dan membalas, “Bukankah dunia juga tak menyiapkanmu untuk segalanya?”

Haji bukan soal fisik, tapi metafisik. Ia adalah titik temu antara tanah dan langit, antara daging dan ruh, antara dosa dan ampunan, antara ego dan ikhlas. Di padang Arafah, manusia tak mengenakan merek, mereka mengenakan kain putih polos. Tak ada sepatu branded, tak ada parfum mahal, yang ada hanyalah bau keringat dan air mata. Di situ, Allah menyaksikan satu-satunya parade manusia yang tidak sedang memamerkan apa-apa, tapi justru membuang segalanya. Sebuah surrender yang tidak bisa direkam dengan kamera, tapi bisa dikenang oleh langit.

Lihatlah bagaimana Allah membuat kita semua terdiam. Seorang gadis remaja bisa naik haji, dan seorang nenek lanjut usia juga bisa. Maka alasan siapa lagi yang ingin kita utarakan? Apakah kita masih akan berkata, “Tunggu kaya dulu,” padahal haji adalah tentang kefakiran jiwa? Apakah kita akan berkata, “Tunggu pensiun,” padahal ajal tak pernah absen? Atau kita akan berkata, “Tunggu panggilan,” padahal panggilan itu sudah ada dalam setiap detak jantung dan setiap azan yang kita dengar tapi kita cuekkan seperti notifikasi spam?

Wahai manusia yang masih sibuk mencari diskon dan drama Korea, ketahuilah: Allah telah memanggilmu, entah lewat hidupmu yang susah atau bahagiamu yang penuh tipu. Kadang Allah memanggil lewat kehilangan, kadang lewat keajaiban. Kadang lewat sakit, kadang lewat sebuah wasiat. Kadang lewat usia muda, kadang lewat keriput yang tak bisa disembunyikan bedak Wardah. Tapi satu yang pasti: ketika Allah memanggil, kamu hanya punya dua pilihan. Menjawab, atau beralasan. Seperti biasa, alasan tidak akan dicatat malaikat, hanya keputusan.

Jadi, mari kita akhiri keabsurdan ini dengan kalimat yang tak absurd, jika Levina, Suci, Zahrotun, dan Mbah Sumbuk bisa melangkah menuju Baitullah, mengapa kita masih melangkah menuju dalih dan keraguan?

Karena pada akhirnya, haji bukan tentang mampu, tapi tentang dipanggil. Panggilan itu, sungguh, tak pernah salah alamat. *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Top